TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Inilah Kami

Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki arti penting baik secara akademis maupun politis. Namun, dari masa ke masa entah disadari atau tidak, banyak pihak yang telah memarjinalkan pembelajaran BI pada posisi yang "hanya disentuh" jika diperlukan.

Selasa, 09 Maret 2010

GETARAN EMOSIONAL : MENUJU PEMBELAJARAN YANG BERMAKNA

Sebuah jargon guru yang sudah sangat akrab di telinga adalah tugas kita bukan mengajar tetapi mendidik. Tugas kita bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih ke arah membangun kepribadian (character building). Jika dalam mengajar, factor utama yang harus kita kuasai adalah materi pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengan strategi penyampaian materi pelajaran seperti metode, media dan sebagainya. Dalam mendidik, factor-faktor yang harus kita kuasai lebih luas lagi.
Agar pemahaman kita tentang mendidik lebih jelas lagi, kita coba kaji ilustrasi hirarki pengetahuan sebagai berikut.
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, seseorang harus melewati 6 tingkatan. Pada level paling bawah terdapat sebuah data. Data hanya akan menjadi data apabila kita tidak membutuhkannya. Terhadap data yang dikehendaki, kita dapat mengolahnya menjadi sebuah informasi (information) yang bermanfaat (level 2). Selanjutnya, beberapa informasi itu dapat dirangkaikan menjadi sebuah pengetahuan (knowledge) yang memudahkan kita memutuskan sebuah masalah (level 3). Tingkat berikutnya adalah pembangunan kecerdasan (intelligent) yang dibuktikan dengan pengambilan keputusan yang benar (level 4). Hirarki paling tinggi berupa kearifan (wisdom) seseorang yaitu ketika orang tersebut mampu menyelaraskan tindakannya dengan nilai-nilai yang berlaku.
Berdasarkan hirarki di atas dapat dilihat bahwa tujuan kegiatan mendidik tidak hanya berhenti pada level 3 (knowledge) atau level 4 (intelligent) karena pada level tersebut masih berada dalam ranah pengetahuan (kognitif). Jika proses pendidikan berhenti pada level itu, berarti kita masih berstatus sebagai “pengajar” yang hanya mentransfer pengetahuan. Kita harus mencapai level tertinggi yang menghasilkan kearifan (wisdom) yang berada pada ranah sikap (afektif).
Sebuah kata bijak dari Herbert Spencer berbunyi “The great aim of education is not knowledge but action “. Jika kita terpaku hanya pada tujuan menghasilkan siswa yang cerdas dalam pengetahuan, kita hanya membekali siswa sebuah ‘badan’ tanpa ‘roh’, sehingga bukan tidak mungkin siswa akan bersikap dan berperilaku yang tidak sesuai dengan pengetahuan yang dikuasainya. Kita semua tahu korupsi itu sebuah tindak kejahatan, tetapi mengapa Negara kita selalu bercokol di papan atas liga korupsi dunia ?
Barangkali salah satu jawabannya ada pada proses pendidikan kita. Terlalu sering kita berpuas diri apabila siswa kita mencapai sebuah KD yang kita ajarkan. Tanpa menyadari bahwa sebenarnya KD tersebut dapat disalahgunakan oleh siswa. Untuk itu, kita memberikan makna mulia yang terkandung dalam sebuah materi pelajaran. Caranya adalah dengan melakukan sentuhan-sentuhan emosional atau getaran emosional (emotional thrill) agar nilai-nilai mulia dalam materi tersebut tertanam dalam hati siswa.
Contoh sederhana jika kita ingin membelajarkan siswa tentang korupsi. Sisi emosional yang dapat digetarkan adalah kesadaran tentang bahaya korupsi bagi dirinya dan orang lain. Siswa dapat dibawa untuk melihat kemiskinan yang diderita rakyat banyak untuk menunjukkan bahayanya korupsi. Dengan menyentuh sisi emosional dalam diri siswa akan terbangung sebuah pola pikir bahwa korupsi merupakan kejahatan yang sangat biadab. Bandingkan misalnya siswa hanya dijejali pengetahuan tentang pengertian korupsi dan bahayanya. Dalam diri siswa hanya tertanam sebuah pengetahuan tanpa sebuah kesadaran.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk menggetarkan emosi siswa. Tentunya rekan-rekan semua mempunyai pengalaman. Ini salah satu poin yang disampaikan Prof. Dr. Yoyo Mulyana dalam perkuliahan. Ide dan saran teman semua, akan sangat bermanfaat.(Bambang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar