TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Inilah Kami

Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki arti penting baik secara akademis maupun politis. Namun, dari masa ke masa entah disadari atau tidak, banyak pihak yang telah memarjinalkan pembelajaran BI pada posisi yang "hanya disentuh" jika diperlukan.

Kamis, 11 Maret 2010

TRANSFORMASI TRADISI

Mengapa muncul cerita Dewi Sri ? Dewi Padi yang mulai dilupakan generasi kini ternyata menyimpan hikmah yang apabila kita renungi merupakan bentuk kecerdasan nenek moyang. Agar ingat kembali, berikut akan diceritakan kembali dongeng yang sempat sangat terkenal itu.
Suatu hari Sanghayang Guru menitahkan semua dewa di kahyangan untuk membawa sebongkah batu sebagai material pembangunan kahyangan. Seorang Dewa tak mampu melaksanakan titah Sanghayang Guru karena keterbatasan fisik. Dialah Dewa Anta yang ditakdirkan berbentuk seekor ular.
Dengan muka sedih Dewa Anta menghadap Batara Narada. Diceritakanlah ketidakmampuannya melaksanakan titah Sanghyang Guru. Begitu menyedihkan keluh kesah Dewa Anta, sampai dari matanya menetes tiga butir air mata. Berkat kesaktiannya, air mata itu menjelma menjadi tiga buah telur. Atas saran Batara Narada, Dewa Anta membawa tiga butir telur itu hendak dipersembahkan kepada Sanghayang Guru.
Dalam perjalanan menuju kahyangan, seekor elang yang tidak tahu permasalahan Dewa Anta menanyakan tujuan Dewa Anta ke kayangan.
" Hendak kemana kau Anta " Dewa Anta tak bisa menjawab karena dalam mulutnya tersimpan tiga butir telur. Begitulah pertanyaan diulang hingga tiga kali. Marahlah elang karena Dewa Anta tak mau menjawab. Disambarlah, telur di mulut Dewa Anta, hingga tertinggal hanya satu butir.
Batara Guru menerima persembahan Dewa Anta dengan senang hati. Meskipun, Dewa Anta hanya memberinya sebuah telur, tetapi itu wujud dari kepatuhannya. Disuruhnya, dewa Anta mengerami telur tersebut. Selang beberapa waktu, menetaslah telur itu. Keluarlah seorang bayi mungil perempuan. Oleh Sang Hyang Guru, bayi itu deiberi nama Dewi Sri.
Tumbuhlah Dewi Sri menjadi gadis yang cantik jelita. Batara Narada melihat sebuah kejanggalan pada tingkah laku Sang Hayng Guru ketika melihat kecantikan Dewi Sri. Kemudian, Batara Narada mencari akal. Diberinya Dewi Sri buah dari surga. Dewi Sri makan buah tersebut. Dan setelah itu, Dewi Sri tak mau makan kecuali buah itu. Lama kelamaan, tubuh Dewi Sri melemah karena tidak mau makan yang lain. Akhirnya, meninggallah Dewi Sri.
Dikuburnya mayat Dewi Sri. Tak berapalama, di atas kuburan Dewi Sri tumbuhlah beraneka tumbuhan. Dari bagian kepalanya tumbuh pohon kelapa. Dari bagian tangannya tumbuh batang padi. dari bagian pinggulnya tumbuh pohon aren (nira). Dari kakinya tumbuh pohon bambu.
Berlanjut.....

Selasa, 09 Maret 2010

MENJADI GURU YANG BERMISI

Tulisan ini merupakan pendapat yang muncul dari endapan pemikiran selama satu setengah semester berinteraksi dengan guru-guru besar di SPS UPI. Tentu saja bukan tidak mungkin, pemikiran ini keliru atau salah persepsi, tetapi sebagai sebuah pendapat tidak ada salahnya untuk didiskusikan bersama.
Selama kurun waktu 8 bulan ada sebuah pemikiran yang mungkin berbeda dari mahasiswa yang satu dengan yang lain. Pemikiran itu adalah ternyata para guru besar yang terhormat itu berusaha menanamkan sebuah prinsip yang selama ini mereka yakini menjadi kunci sebuah keberhasilan.
Salah seorang guru besar selalu tampil dalam kesederhanaan baik dalam pola pikir maupun dalam penampilan fisik. Tidak jarang pula, beliau menunjukkan pengakuan bahwa penjelasan yang baru disampaikan ternyata tidak sesuai dengan buku-buku yang pernah dibacanya. Lalu dibukanya sebuah buku catatan yang sangat rapi. Disampaikannya kembali teori tersebut dengan teliti. Diajaknya mahasiswa mengkritisi teori tersebut. Apabila ternyata, teori tersebut kurang tepat, akan disampaikan alasan-alasan yang masuk akal sehingga pantas kalau teori tersebut perlu direvisi. Beliau mempunyai misi : kesedehanaan, ketelitian dan keberanian bersikap kritis.
Dosen yang lain sering mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang berbeda. Pernah diungkapkan oleh Beliau, bahwa teori perkembangan Jean Piaget perlu direvisi apabila dikaitkan dengan perkembangan psikologis orang Indonesia. Alasannya cukup rasional apabila dikaitkan dengan fenomena yang ada seperti mahasiswa dan politisi yang suka tawuran. Teori yang sudah bertahan berratus tahun itu masihkah relevan hingga kini ? Begitu beliau mengajak mahasiswa berpikir inovatif. Di saat lain, Beliau memunculkan istilah yang sama sekali baru bagi kami, yaitu tata bahasa paedagogis. Tujuannya agar dalam pembelajaran bahasa Indonesia, tata bahasa tidak dilupakan sama sekali. Disinyalir para guru bahasa Indonesia, telah menghilangkan pembelajaran tata bahasa dengan dalih tidak dituntut oleh kurikulum. Beliau mempunyai misi : inovatif.
Guru besar yang lain senantiasa berpenampilan rapi. Apabila berjalan, nyata sekali sebuah keyakinan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia merupakan kebanggaan yang harus selalu dijaga. Begitulah nilai-nilai yang selalu disampaikan kepada para mahasiswa. Hampir di setiap akhir perkuliahan, para mahasiswa diyakinkan pada sebuah kebanggaan bahwa bangsa Indonesia tidak kalah dari bangsa lain. Saudara boleh menjadi orang sukses di mana pun jua, tetapi tetaplah saudara menjadi orang Indonesia. Kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa Indonesia selalu menjadi prinsip Beliau. Semua itu diwujudkan dalam karya-karyanya. Beliau mempunyai misi : kebanggaan dan kecintaan terhadap bangsa Indonesia (nasionalisme).
Kunci utama keberhasilan pendidikan bagi seorang guru adalah kewibawaan. Banyak hal dapat dilakukan guru untuk memperoleh kewibawaan. Beliau menyebutnya alat kewibawaan. Ada guru yang menggunakan media pembelajaran. Tidak sedikit pula yang menggunakan alat berupa kekerasan. Tetapi kewibawaan yang sebenarnya akan muncul dari sebuah keikhlasan. Dengan ikhlas sorang guru akan melakukan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh. Kesungguhan yang konsisten itulah yang akan menghasilkan wibawa. Misi beliau adalah : kewibawaan dan keikhlasan.
Sebuah generalisasi dari beberapa ilustrasi di atas adalah setiap guru memiliki misi. Misi itu lahir dari pengalaman-pengalaman hidup yang kemudian mengkristal menjadi prinsip hidup. Pengalaman hidup setiap manusia selalu berbeda, maka dari itu prinsip hidup yang diyakini pun berbeda. Selanjutnya, misi itupun dikemas menjadi roh dari materi pelajaran yang disampaikan. Dapat dibayangkan apabila di sebuah sekolah terdapat sepuluh sampai lima belas guru, maka misi atau prinsip hidup yang dapat menjadi pilihan siswa untuk diadopsi menjadi prinsip hidupnya. Dengan begitu, siswa akan menjadi kaya dengan teladan-teladan yang dapat menjadi bekal masa depannya.
Salah seorang guru mempunyai prinsip kedisiplinan. Sementara yang lain meyakini kasih sayang sebagai prinsip hidupnya. Secara sepintas seperti berlawanan, tetapi sejatinya kedua prinsip tersebut dapat dipadukan. Bolehlah diibaratkan apabila kita ingin membuat sebuah resep makanan. Buah cabai yang pedas, garam yang asin dan gula yang manis, apabila diramu akan menghasilkan sebuahsambal yang nikmat. Demikian juga, prinsip kehidupan guru akan mewarnai pengalaman hidup siswa. Kuncinya kita meyakini sebuah prinsip dan berusaha menanamkan prinsip tersebut melalui misi dalam pembelajaran kita.(Bambang S)

GETARAN EMOSIONAL : MENUJU PEMBELAJARAN YANG BERMAKNA

Sebuah jargon guru yang sudah sangat akrab di telinga adalah tugas kita bukan mengajar tetapi mendidik. Tugas kita bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih ke arah membangun kepribadian (character building). Jika dalam mengajar, factor utama yang harus kita kuasai adalah materi pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengan strategi penyampaian materi pelajaran seperti metode, media dan sebagainya. Dalam mendidik, factor-faktor yang harus kita kuasai lebih luas lagi.
Agar pemahaman kita tentang mendidik lebih jelas lagi, kita coba kaji ilustrasi hirarki pengetahuan sebagai berikut.
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, seseorang harus melewati 6 tingkatan. Pada level paling bawah terdapat sebuah data. Data hanya akan menjadi data apabila kita tidak membutuhkannya. Terhadap data yang dikehendaki, kita dapat mengolahnya menjadi sebuah informasi (information) yang bermanfaat (level 2). Selanjutnya, beberapa informasi itu dapat dirangkaikan menjadi sebuah pengetahuan (knowledge) yang memudahkan kita memutuskan sebuah masalah (level 3). Tingkat berikutnya adalah pembangunan kecerdasan (intelligent) yang dibuktikan dengan pengambilan keputusan yang benar (level 4). Hirarki paling tinggi berupa kearifan (wisdom) seseorang yaitu ketika orang tersebut mampu menyelaraskan tindakannya dengan nilai-nilai yang berlaku.
Berdasarkan hirarki di atas dapat dilihat bahwa tujuan kegiatan mendidik tidak hanya berhenti pada level 3 (knowledge) atau level 4 (intelligent) karena pada level tersebut masih berada dalam ranah pengetahuan (kognitif). Jika proses pendidikan berhenti pada level itu, berarti kita masih berstatus sebagai “pengajar” yang hanya mentransfer pengetahuan. Kita harus mencapai level tertinggi yang menghasilkan kearifan (wisdom) yang berada pada ranah sikap (afektif).
Sebuah kata bijak dari Herbert Spencer berbunyi “The great aim of education is not knowledge but action “. Jika kita terpaku hanya pada tujuan menghasilkan siswa yang cerdas dalam pengetahuan, kita hanya membekali siswa sebuah ‘badan’ tanpa ‘roh’, sehingga bukan tidak mungkin siswa akan bersikap dan berperilaku yang tidak sesuai dengan pengetahuan yang dikuasainya. Kita semua tahu korupsi itu sebuah tindak kejahatan, tetapi mengapa Negara kita selalu bercokol di papan atas liga korupsi dunia ?
Barangkali salah satu jawabannya ada pada proses pendidikan kita. Terlalu sering kita berpuas diri apabila siswa kita mencapai sebuah KD yang kita ajarkan. Tanpa menyadari bahwa sebenarnya KD tersebut dapat disalahgunakan oleh siswa. Untuk itu, kita memberikan makna mulia yang terkandung dalam sebuah materi pelajaran. Caranya adalah dengan melakukan sentuhan-sentuhan emosional atau getaran emosional (emotional thrill) agar nilai-nilai mulia dalam materi tersebut tertanam dalam hati siswa.
Contoh sederhana jika kita ingin membelajarkan siswa tentang korupsi. Sisi emosional yang dapat digetarkan adalah kesadaran tentang bahaya korupsi bagi dirinya dan orang lain. Siswa dapat dibawa untuk melihat kemiskinan yang diderita rakyat banyak untuk menunjukkan bahayanya korupsi. Dengan menyentuh sisi emosional dalam diri siswa akan terbangung sebuah pola pikir bahwa korupsi merupakan kejahatan yang sangat biadab. Bandingkan misalnya siswa hanya dijejali pengetahuan tentang pengertian korupsi dan bahayanya. Dalam diri siswa hanya tertanam sebuah pengetahuan tanpa sebuah kesadaran.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk menggetarkan emosi siswa. Tentunya rekan-rekan semua mempunyai pengalaman. Ini salah satu poin yang disampaikan Prof. Dr. Yoyo Mulyana dalam perkuliahan. Ide dan saran teman semua, akan sangat bermanfaat.(Bambang)

TATA BAHASA PAEDAGOGIS

Sejak adanya kritik terhadap kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, paradigma kurikulum berubah dari pembelajaran tentang bahasa ke arah pembelajaran ketrampilan berbahasa. Konsekuensinya, materi pelajaran sekarang ini dipenuhi oleh materi yang ditujukan untuk mengasah ketrampilan berbahasa yang terdiri membaca, menulis, menyimak dan berbicara.
Jikalau, beberapa decade lalu, kita dapat dengan mudah menemui materi tata bahasa, kini tidak lagi. Sebagai guru bahasa Indonesia, kita sering bingung untuk menempatkan materi tata bahasa. Bahkan karena tidak ada tuntutan secara eksplisit dari kurikulum, materi tata bahasa akhirnya sering kita lupakan.
Berbagai keluhan kemudian muncul. Banyak siswa yang kemudian hanya mengutamakan kemampuan ketrampilan berbahasa, tanpa didasari penguasaan tata bahasa yang benar. Kenyataan ini dapat dengan mudah ditemui di lapangan. Karangan siswa yang tidak patuh tata kalimat. Pidato siswa yang berisi kosa kata tidak baku.
Masih pentingkah materi tata bahasa diberikan kepada siswa ? Kiranya kita semua sepakat, bahwa pengetahuan tentang tata bahasa akan meningkatkan ketrampilan berbahasa seseorang. Dengan mengetahui tata susunan kalimat, karangan atau pembicaraan seseorang akan terstruktur dan mudah dipahami pembaca dan pendengarnya. Demikian juga, ketika kita menyimak dan membaca. Pemahaman kita akan meningkat jika kita mengerti pokok-pokoknya.
Permasalahannya adalah bagaimana kita mengajarkan tata bahasa jika dalam kurikulum tidak tercantum secara eksplisit. Dari sinilah kemudian muncul istilah tata bahasa paedagogis. Istilah ini saya dengar ketika mengikuti kuliah Dr. Andoyo Sastromiharjo. Beliau membagikan sebuah pengalaman ketika mengisi sebuah seminar tenta pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam seminar itu terungkap, bahwa mayoritas guru bahasa Indonesia mengabaikan tata bahasa dalam pembelajaran. Perhatian utama guru adalah mencapai kompetensi dasar yang pokok utamanya terpusat pada ketrampilan berbahasa. Padahal apabila dicermati secara lengkap, sebuah KD mempunyai prasyarat tata bahasa, Sebagai contoh :
Mencerita¬kan peng¬alam¬an yang paling me¬nge¬sankan dengan mengguna¬kan pilihan kata dan kalimat efektif ( KD berbicara kelas 8)
Ketrampilan berbahasa yang dituntut oleh KD tersebut adalah menceritakan kembali. Sering guru hanya berkosentrasi pada ketrampilan berbahasa yang dituntut sehingga lupa bahwa tuntutan KD tersebut bukan hanya ketrampilan, tetapi juga penguasaan tata bahasa dalam hal ini diksi (pilihan kata) dan sintaksis (tata kalimat). Di sinilah kemudian muncul sebuah pemikiran, bagaimana mengajarkan tata bahasa tanpa menghilangkan esensi pembelajaran ketrampilan berbahasa. Jawabannya ada pada tata bahasa paedagogis.
Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa tata bahasa paedagogis merupakan serpihan-serpihan materi tata bahasa yang diselipkan dalam pembelajaran ketrampilan berbahasa. Serpihan-serpihan tata bahasa tersebut dipilih dan dikemas secara efektif dan efisien sehingga hakikat pembelajaran berbahasa tetap pada relnya.
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana kita mengembangkan tata bahasa paedagogis sehingga langsung dapat dimanfaatkan dalam mengasah ketrampilan berbahasa. Dalam forum ini, saya mengundang teman-teman untuk memberikan sumbang sarannya.(Bambang)

Jumat, 05 Maret 2010

PEMBELAJARAN SASTRA DAN ANJING PEMBURU

Dalam sebuah seminar tentang pembelajaran sastra yang diadakan oleh Prodi Bahasa Indonesia SPS UPI Bandung, Prof. Dr. Yus Rusyiana memberikan sebuah analogi bagi pembelajaran sastra yang cukup ampuh dari masa ke masa. Beliau memberikan contoh bagaimana seekor anjing pemburu di latih agar naluri berburunya tajam.
Setiap hari, anjing pemburu dicelupkan ke dalam sebuah baskom yang berisi darah.
Apabila setiap hari, seekor anjing senantiasa berinteraksi dengan bau anyir darah, naluri berburunya akan semakin tajam sehingga setiap mencium aroma hewan buruan, secara otomatis akan berlari mengejar hewan buruan.
Demikian juga dengan pembelajaran sastra. Cara yang paling efektif adalah 'mencelupkan' siswa ke dalam 'karya sastra'. Dengan mengenalkan siswa kepada karya sastra, naluri kesenangannya terhadap sastra akan terasah sedikit demi sedikit. Memberikan teori bukannya tidak berguna. Teori sastra akan memberikan bekal untuk memahami karya sastra. Tetapi yang terjadi, siswa hanya puas dengan menghafal dan memahami istilah-istilah sastra. Padahal, hakikat pembelajaran sastra bukan terletak pada teori sastra tetapi lebih pada karya sastra.
Permasalahannya adalah bagaimana kita dapat mencelupkan siswa kedalam darah sastra ? Marilah kita berdiskusi untuk hal ini !(Bambang)