TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Inilah Kami

Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki arti penting baik secara akademis maupun politis. Namun, dari masa ke masa entah disadari atau tidak, banyak pihak yang telah memarjinalkan pembelajaran BI pada posisi yang "hanya disentuh" jika diperlukan.

Kamis, 09 Desember 2010

KESANTUNAN BERBAHASA PENGGUNA FACE BOOK

A. Pendahuluan
Jaringan face book saat ini menjadi sebuah media komunikasi yang akrab di kalangan masyarakat. Berdasarkan perkiraan kasar, pengguna face book di seluruh dunia sudah mencapai ratusan juta. Di Indonesia pengguna face book sampai bulan April 2010 pengguna Facebook di Indonesia mencapai 21.027.660 tumbuh tertinggi kedua di Asia setelah Malaysia (wikipedia.org) Jumlah ini akan terus berkembang karena setiap hari pengguna face book akan terus bertambah.
Selain berdampak positif, beberapa kasus penah terjadi sebagai dampak negative penggunaan face book. Komnas Perlindungan Anak (PA) mencatat, dari 100 laporan pengaduan dampak Facebook, 60 kasus berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak baik oleh anak. (Kompas.com, 17 Februari 2010) Empat siswa SMAN 4 Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dikeluarkan dari sekolah. Mereka dituduh menghina salah seorang guru wanita di sekolah itu melalui jejaring sosial Facebook. (Kompas.com, 15 Februari 2010) Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring. Politisi PKS itu menyayangkan penggunaan bahasa kasar dalam komunikasi di situs jejaring sosial. (news.okezone.com)
Penelitian tentang dampak face book pernah dilakukan. Muhammad Effendi meneliti Fenomena penggunaan facebook di Indonesia (fend-skripsifendighozali.blogspot.com) Gustitia Putri P dari UNS Surakarta meneliti dampak budaya dalam skripsi berjudul “Analisis Positif Negatif Facebook di Indonesia”
Sebagai media komunikasi, face book mengandalkan ketrampilan berbahasa (menulis dan membaca ) sebagai alat menyampaikan pikiran dan perasaan. Walaupun ada beberapa menu yang memungkinkan menampilkan fitur gambar dan film, tetapi fitur-fitur tersebut selalu diiringi menu komentar yang memungkinkan pengguna face book menyatakan ide, pendapat, perasaan dan sebagainya. Dalam penyampaiannya, pengguna face book terikat oleh aturan formal seperti tidak diperbolehkan mengungkapkan hal-hal yang berbau pornografi dan aturan informal seperti kesantunan.
Kesantunan dalam berbahasa sangat dibutuhkan karena akan berpengaruh dalam proses komunikasi. Beberapa kasus yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa kesantunan bebahasa dalam face book merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan.
Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dianalisis kesantunan berbahasa pada jaringan face book, khususnya dalam pengungkapan kalimat direktif yang berupa saran dan permintaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimanakah pemakaian bahasa Indonesia dalam jaringan face book ditinjau dari segi kesantunan berbahasa.
B. Definisi
1. Face Book
Facebook adalah sebuah sarana sosial yang membantu masyarakat untuk berkomunikasi secara lebih effisien dengan teman-teman, keluarga dan teman sekerja. Perusahaan ini mengembangkan teknologi yang memudahkan dalam sharing informasi melewati social graph, digital mapping kehidupan real hubungan sosial manusia. Siapun boleh mendaftar di Facebook dan berinteraksi dengan orang-orang yang mereka kenal dalam lingkungan saling percaya.” (Wikipedia.or.id)
Penemu situs pertemanan ini adalah Mark Zuckerberg seorang mahasiswa “droup out” Universitas Harvard Amerika Serikat. Dia dilahirkan pada 14 Mei 1984. Kejeniusan dan kreativitas lewat Facebook menempatkan dirinya sebagai jajaran 400 orang terkaya di Amerika Serikat versi Majalah Forbes edisi September 2008, tepatnya peringkat 321 dengan total kekayaan 1,5 Miliyar Dollar US. (Forbes.com; September 2008)
Banyak menu yang terdapat pada jaringan face book. Menu utama berupa “beranda” yang memungkinkan pengguna mengungkapkan semua perasaan dan pikirannya dan kemudian ditanggapi oleh pengguna lain yang sudah terikat pertemanan. Menu “profil” berisi “dinding, info, foto, video, tautan dan sebagainya”. Menu-menu ini menyediakan kolom komentar yang dapat diisi oleh pengguna untuk menyatakan tanggapan dan pendapatnya.

2. Kesantunan Berbahasa
a. Pengertian
Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama". (Muslich, 2006)
Selanjutnya Muslich menyatakan bahwa kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tata cara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tata cara berbahasa orang Jawa bebeda dengan tata cara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonsia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.
Hal di atas sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat ( Aslinda, 2007:93) yang menyatakan bahwa bahasa merupakan unsur utama yang mengandung semua unsur kebudayaan manusia lainnya. Saat ini, setelah unsur-unsur lain dari kebudayaan manusia telah berkembang, bahasa hanya merupakan salah satu unsur, namun fungsinya sangat penting bagi kehidupan manusia.
Secara implisit Nababan ( 1989:38) memasukan kesantunan berbahasa sebagai kompetensi sosiolinguistik. Kompetensi sosiolinguistik mengalamatkan atau mengarahkan luas/ tingkat pemahaman ucapan-ucapan yang dihasilkan dan dipahami secara tepat dan memuaskan dalam berbagai kontekstual seperti status partisipan, maksud/ tujuan interaksi, dan norma-norma atau konvensi-konvensi interaksi teradap faktor-faktor tersebut.
Apabila dikaitkan dengan moral, kesantunan berbahasa termasuk tolok ukur moral seseorang. Sebagaimana dinyatakan oleh Magnis Suseno (Budiningsih, 2004: 24) bahwa moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Tindakah lahiriah ini salah satunya adalah ucapan atau kegiatan berbahasa seseorang. Jadi dapat dikatakan bahwa kesantunan berbahasa mencerminkan moralitas seseorang.
b. Pembentukan Kesantunan Berbahasa
Sebagaimana disinggung di muka bahwa kesantunan berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech dalam Muslich, 2006 ) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip.
1) Penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan prinsip-prinsip kesantunan yang terdiri dari : (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.
2) Penghindaran pemakaian kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk padaorgan-organ tubuh yang lazimditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata "kotor" daqn "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu.
3) Sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif.
4) Penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidakmengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.
Grice (Leech,1983:11) mengemukakan bahwa prinsip kerja sama dalam penggunaan bahasa yang tertib itu direalisasikan dengan memperhatikan empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Maksim kuantitas menghendaki agar dalam melakukan tindak tutur, setiap partisipan memberikan informasi yang cukup, yakni sebanyak yang diperlukan oleh mitra tuturnya. Maksim kualitas mengikat setiap partisipan untuk menyampaikan hal yang benar kepada mitra tuturnya. Maksim relevansi mengikat setiap partisipan memberikan kontribusi (informasi) yang relevan dengan hal atau topik yang sedang dibicarakan. Maksim cara mengikat setiap partisipan untuk mengungkapkan informasi secara benar, langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebihan.
C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi ( content analysis ). Fraenkel dan Willan (2001 : 483) menyatakan analisis isi adalah teknik yang dapat digunakan peneliti untuk mengkaji perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis terhadap komunikasi mereka seperti : buku teks, esay, Koran, novel, artikel majalah, lagu, gambar iklan dan semua jenis komunikasi yang dapat dianalisis.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi. Kata “dokumen”, digunakan untuk mengacu pada setiap tulisan atau bukan selain “rekaman”, yaitu tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti surat-surat, buku harian, naskah editorial surat kabar, catatan kasus, skrip televisi, foto-foto (Syamsudin dan Vismaia, 2007:108) Sesuai dengan pengertian ini, tuturan-tuturan pengguna face book yang tercantum pada menu dinding dapat dianggap sebagai dokumen. Untuk mengetahui usia dan tingkat pendidikan, peneliti memeriksa informasi pengguna face book yang tercantum pada menu info.
Jumlah pengguna face book yang diteliti 277 orang dengan perincian sebagai berikut : (1) Remaja berpendidikan SMP berjumlah 52orang ,(2) Remaja berpendidikan SMA berjumlah 78 orang (3) Dewasa berpendidikan Mahasiswa berjumlah35orang (4)Dewasa berpendidikan sarjana berjumlah 47 orang dan (5) Diluar ketegori dan tidak diketahui berjumlah 65orang.
Dari populasi tersebut ditarik sampling secara purposif dengan mengambil tuturan yang berisi kalimat berilokusi direktif saran dan permohonan. Searle (Leech,1983:164) menyatakan ilkokusi direktif bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh petutur misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, dan memberi nasihat.
Selanjutnya tuturan-tuturan tersebut dianalisis menggunakan model alir. Model yang dinyatakan oleh Miles dan Huberman mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :
1. Antisipasi, yaitu untuk menyiapkan butir-butir yang akan dianalisis.
2. Reduksi data, yaitu kegiatan untuk memilah, mengelompokan dan mengurangi data sehingga data mencapai titik jenuh.
3. Penyajian data, yaitu penyajian data hasil reduksi untuk kemudian dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip kesantunan.
4. Penarikan kesimpulan, merupakan langkah terakhir dari analisis data.
D. Hasil Penelitian
Dari hasil reduksi data diperoleh 32 situasi tutur yang berisi kalimat direktif saran dan permintaan dan dikategorikan berdasarkan usia dan pendidikan penutur dan petutur. Tiga puluh dua situasi tutur berisi 72 tuturan. Tuturan tersebut dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip kesantunan yaitu (1) prinsip kesantunan Leech (2) Ketiadaan kata tabu (3)Eufimisme (4) Honorifik dan (5) prinsip kerjasama Grice.
Diperoleh 49 tuturan yang memenuhi prinsip kesantunan dan 24 tuturan yang tidak memenuhi prinsip kesantunan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 berisi :
1. No data tuturan ( 1 – 32 )
2. Tuturan (setiap tuturan diberi nomor kode seperti 1a,1b,1c dan selanjutnya)
3. kategori penutur dan petutur yang meliputi usia (R untuk remaja, D untuk dewasa) ,tingkat pendidikan (P untuk SMP. A untuk SMA, M untuk mahasiswa dan S untuk sarjana )dan jenis kelamin (L untuk laki-laki dan P untuk perempuan)
4. Prinsip Kesantunan Leech berisi maksim-maksim kesantunan yang dipenuhi atau dilanggar oleh tuturan. Kode (T) dbelakang maksim berarti tuturan tersebut tidak memenuhi maksim.
5. Kata Tabu (A berarti ada, TA berarti tidak ada )
6. Eufimisme (A berarti ada, TA berarti tidak ada, TP berarti tidak diperlukan)
7. Honorifik (A berarti ada, TA berarti tidak ada, TP berarti tidak diperlukan)
8. Prinsip kerjasama Grice berisi maksim-maksim kerja sama yang dipenuhi atau dilanggar oleh tuturan. Kode (T) dbelakang maksim berarti tuturan tersebut tidak memenuhi maksim.
9. Simpulan (Santun dan tidak santun )

Dalam table 2, kajian dilakukan untuk melihat tuturan berdasarkan kelmpok penutur dan petutur. Diperoleh ketidak santunan sebanyak 2 dari 4 tuturan( 50 %) untuk remaja SMP dengan remaja SMP. Ketidak santunan sebanyak 10 dari 20 tuturan ( 50% ) untuk kelompok remaja SMA dengan remaja SMA. Tidak ditemukan ketidaksantunan pada kelompok remaja SMA dengan dewasa mahasiswa. Ketidak santunan sebanyak 5 dari 10 (50%) pada kelompok dewasa mahasiswa dan dewasa mahasiswa. Terdapat ketidak santunan 3 dari 13 tuturan ( 23 % ) antara remaja SMA dengan dewasa sarjana. Ketidak santunan 4 dari 24 (16 %) pada tuturan antara dewasa sarjana dengan dewasa sarjana.
Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan terbesar pada prinsip kerja sama Grice ( 17 pelanggaran ) diikuti pelanggaran prinsip kesantunan Leech (12 pelanggaran). Penggunaan kata-kata tabu terjadi pada 10 tuturan dan penghilangan eufimisme terjadi 10 kali. Semua tuturan memenuhi prinsip penggunaan honorific.
E. Diskusi
Dari hasil analisis di atas, beberapa temuan perlu didiskusikan lebih lanjut.
1. Pelanggaran terhadap prinsip kasantunan terjadi pada semua situasi tutur, walaupun persentasenya menurun seiring dengan tingkat usia dan tingkat pendidikan. Dalam situasi tutur antara usia remaja berpendidikan SMP, usia remaja berpendidikan SMP dan dewasa berstatus mahasiswa, persentase kesantunan sekitar 50 %. Menurun pada situasi tutur dewasa berstatus sarjana. Hasil ini sejalan dengan, fenomena yang diungkap oleh Sauri ( 2006: 112). Dalam bertutur kata para remaja menunjukkan ketidaksantunan bahasa yang digunakan dalam pembicaraan antarremaja. Dalam pandangan sosiolinguistik, gejala ini juga sejalan dengan beberapa penelitian seperti yang dikemukakan oleh Wardough (2001:167). Ia menyimpulkan bahasa yang digunakan remaja mencerminkan usia dan menjadi bahasa yang aneh bagi usia yang lebih tua.
2. Pelanggaran prinsip kesantunan bervariasi pada berbagai situasi tutur. Pelangaran prinsip kesantunan Leech dan Grice mendominasi ketidaksantunan antara orang dewasa. Pelanggaran yang berupa kata-kata tabu dan tidak adanya eufimisme mendominasi ketidak santunan berbahasa anak remaja. Gejala penggunaan kata tabu dalam bahasa remaja dapat ditinjau dari sudut pandang psikolinguistik. Kata Tabu mempunyai tujuan utama untuk menyalurkan situasi emosional dalam diri manusia. (Jay, 2004: 335). Secara psikologis, remaja dalam kondisi emosi yang masih labil sehingga cenderung lebih mudah mengungkapkan kata-kata tabu.
3. Selain temuan-temuan di atas, hal menarik lainnya yang berkenaan dengan pemakaian bahasa pada face book adalah munculnya bahasa khusus yang berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya. Fenomena ini lebih tampak pada pemakaian bahasa oleh anak remaja dengan pendidikan SMP dan SMA. Pemakaian bahasa seperti ini sudah lama muncul dan menjadi bahan kajian. Beberapa media pernah mengungkapkan hasil kaijannya seperti Majalah Gema Widyakarya edisi 04 tahun 2010 mengungkapkan penggunaan bahasa Alay atau bahasa khusus yang sering digunakan dalam SMS dan face book. Kata-kata seperti : dunt (dong) , mupzh (maaf), beud (banget), sxan (sekalian), ftx (fotonya),bdw ,(by the way) dan sebagainya.
F. Kesimpulan
Dengan penelitian analisis isi diperoleh gambaran bahasa yang dipakai oleh para pengguna face book. Gambaran ini diperoleh dengan mengambil data tuturan pengguna face book yang berjumlah 277 orang yang terdiri dari berbagai usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Sampel ditarik secara purposif dengan mengambil tuturan yang berilokusi direktif berupa saran dan permintaan. Diperoleh 72 tuturan dari 32 situasi tutur.
Penelitian ini menghasilkan beberapa fenomena yang layak untuk didiskusikan lebih lanjut. Ketidaksantunan berbahasa terjadi pada semua tingkatan usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Prinsip-prinsip yang dilanggar bervariasi, namun tampak bahwa pengguna face book tingkat usia remaja cenderung lebih tidak santun dan lebih banyak menggunakan kata-kata tabu. Selain itu, muncul penggunaan bahasa yang tidak selazimnya dalam face book atau dikenal dengan bahasa Alay.
Ketiga fenomena di atas perlu dipecahkan, khususnya bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan dunia pendidikan, termasuk kita semua. Apakah gejala ini akan hilang seiring dengan perkembangan usia dan meningkatnya pendidikan kaum remaja ? Tentu saja tidak. Pendidikan yang mengajarkan tata cara berbahasa masih diperlukan untuk memperbaiki semua itu.(Bambang)

Sastra Terlupa Karakter Terlena

Hari-hari terakhir suguhan yang sering hadir di pagi bukan hanya secangkir kopi dan selembar roti tetapi juga berita-berita miring tentang negeri ini. Anggota DPR yang bersikeras ‘jalan-jalan’ ke luar negeri dengan berbagai dalih yang diputarbalikan. Ada pula kasus ‘jalan-jalannya’ pegawai negeri paling tersohor, Gayus, ke Bali. Berita-berita ini disajikan dengan penuh pesona oleh pembawa berita yang tidak kalah mempesona sehingga sering kita lupa bahwa di balik berita itu ada sesuatu yang hilang dari jiwa kita sebagai bangsa.
Berita-berita sejenis yang bertubi-tubi dan saling bersusulan membuat kita terkadang jenuh dan bosan. Satu persoalan belum tuntas, disusul persoalan lain sehingga ada kesan berita terbaru sengaja dimunculkan untuk mengalihkan perhatian publik. Akibatnya, sebagian besar publik merasa tidak ada yang aneh pada berita-berita tersebut. Bahkan kemudian muncul pemikiran bahwa berita-berita negatif itu suatu hal yang biasa dan dapat diterima sebagai sebuah kewajaran. Padahal bila direnungkan, semua perilaku tersebut adalah cerminan dari sebuah ‘bencana’ yang harus kita waspadai.
Bila akhir-akhir ini kita semua prihatin dengan rangkaian bencana yang melanda negeri ini, ternyata ada sebuah ‘bencana’ yang kita semua kadang tidak menyadarinya. Hal ini karena kita sering terbius pada hal-hal yang sifatnya kasat mata. Padahal bila dirunut ke akar-akarnya adanya bencana seperti tanah longsor, banjir, kebakaran, dan tsunami terdapat hubungan dengan ‘bencana’ yang telah lama kita alami tetapi tidak disadari. Bencana itu adalah hilangnya karakter bangsa.
Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa bangsa ini telah kehilangan karakternya, tetapi marilah kita tengok keadaan di sekitar kita. Memang masih banyak hal-hal yang dapat kita banggakan. Tetapi juga terlalu naif untuk mengatakan tidak ada masalah pada karakter bangsa ini. Untuk itu, artikel sederhana akan mencoba mengaitkan hilangnya karakter bangsa dengan dilupakannya pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.

Pembelajaran Sastra Dulu dan Kini
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa oleh Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Taufiq Ismail menyinyalir ada perubahan mendasar yang perjadi pada pembelajaran sastra masa dulu dan kini. Beliau mengatakan titik balik perubahan itu terjadi pada 1 Januari 1950 ketika bangsa Indonesia memiliki kewenangan penuh merumuskan kurikulum pendidikan. Perubahan mendasar itu berupa dihapuskannya bacaan-bacaan wajib bagi siswa.
Pada masa penjajahan Belanda, sekolah Hindia Belanda kala itu (AMS, MULO) mewajibkan siswanya membaca karya sastra. Tercatat ada kurang lebih dua puluh lima bacaan wajib yang harus diselesaikan dalam waktu tiga tahun. Apakah sistem pendidikan seperti ini yang menghasilkan tokoh-tokoh pendiri bangsa seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Syahrir dan sebagainya ? Memang masih perlu dibuktikan. Tetapi bila menengok negara-negara yang sudah berhasil seperti Amerika Serikat dan Rusia, kita pantas mengakui bahwa ada peran bacaan sastra dalam pembentukan karakter seseorang.
Amerika sampai kini masih mewajibkan siswa-siswanya membaca karya sastra seperti karya-karya Ernest Hemingway. Demikian juga Rusia masih mempertahankan karya sastra seperti War and Peace karya Leo Tolstoy. Negeri tetangga Malaysia juga tidak ketinggalan. Siswa-siswa di Malaysia masih diwajibkan minimal enam karya sastra. Tidak ketinggalan pula Singapura dan Thailand.
Bagaimana dengan Indonesia ? Beberapa sekolah mungkin masih melaksanakan bacaan-bacaan wajib. Tetapi secara umum, siswa-siswa Indonesia hanya sekali, dua kali atau bahkan ada yang sama sekali belum pernah membaca karya sastra. Taufiq Ismail lebih menyukai istilah “bangsa yang rabun membaca dan pincang mengarang” untuk menggambarkan situasi pembelajaran sastra di Indonesia.
Secara lebih rinci, Taufiq Ismail menyebutkan setidaknya terdapat 35 permasalahan dalam pembelajaran sastra di Indonesia. Permasalahan itu di antaranya adalah merosotnya minat masyarakat secara umum untuk membaca karya sastra. Memang ada beberapa fakta yang dapat membantah pernyataan ini. Terbukti novel-novel seperti Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta laris di pasaran. Tetapi dapatkah kedua novel ini mewakili karya sastra secara keseluruhan ? Masih harus dibuktikan ketika novel-novel yang kental nilai sastranya dilepas ke masyarakat.
Permasalahan lain adalah peran media lain seperti media elektronik dalam mengenalkan sebuah karya sastra kepada masyarakat. Sekarang ini tak dapat dipungkiri, media elektronik telah menyita perhatian masyarakat sehingga media-media lain harus berusaha keras agar tidak tersingkir. Seharusnya keunggulan ini dimanfaatkan untuk mengenalkan karya-karya sastra melalui tayangan-tayangannya. Tetapi, hanya sedikit sinetron-sinetron yang diangkat dari karya sastra. Beberapa tahun lalu ditayangkan sinetron “Siti Nurbaya” yang sempat sukses. Tetapi setelah itu, sinetron di televisi lebih banyak dihiasi cerita-cerita yang lebih mementingkan nilai jual dari pada kualitas.
Masalah-masalah lain masih banyak tetapi pokok permasalahan dari semua persoalan itu terletak pada merosotnya wajib baca buku sastra, bimbingan mengarang dan pengajaran sastra di sekolah. Seperti sudah dikemukakan di atas, hilangnya kewajiban membaca karya sastra berbanding lurus dengan menurunnya kualitas karakter bangsa.
Kenyataan ini baru disadari akhir-akhir ini dengan digalakkannya kembali pendidikan karakter. Presiden SBY melalui pidatonya dalam rangka memperingati hari Pendidikan Nasional menyatakan keprihatinannya pada berbagai fenomena yang muncul di masyarakat seperti kekerasan, korupsi, kejahatan seksual dan sebagainya. Jalan keluar dari permasalahan ini adalah pendidikan karakter yang terintegrasi dengan kurikulum yang ada.
Saat inilah barangkali waktu yang tepat untuk merubah paradigma agar pembelajaran sastra di sekolah dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan karakter siswa.
Merubah Paradigma
Taufiq Ismail mengusulkan setidaknya enam perubahan paradigma agar pengajaran sastra dapat memenuhi fungsinya.
Yang pertama adalah merubah pendekatan dalam pengajaran agar siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik dan gembira. Sastra bukan hal yang dipaksakan sebagai materi pelajaran yang harus dipahami. Sastra harus dikemas menjadi materi yang menyenangkan sehingga membuat siswa antusias dan merasa sebagai sesuatu yang diperlukan.
Perubahan paradigma yang kedua adalah menyajikan karya sastra bukan melalui ringkasan seperti yang selama ini dilakukan. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra dapat dihayati jika karya tersebut dibaca secara utuh. Membaca sepotong-potong atau membaca ringkasan dan ulasan hanya membekali siswa dengan pengetahuan tentang karya tersebut. Hal ini belum sesuai dengan hakikat pembelajaran sastra yang menekankan kemampuan mengapresiasi. Memang mungkin saja ringkasan dan ulasan bermanfaat dalam kegiatan pembelajaran, tetapi itu bukan merupakan tujuan akhir pembelajaran sastra.
Perubahan berikutnya berkaitan dengan pembelajaran mengarang. Selama ini kegiatan mengarang masih merupakan hal yang ditakuti siswa. Sebagian besar siswa merasa terbebani ketika guru memberikan tugas berupa karangan baik yang bersifat fiksi maupun nonfiksi, baik berupa prosa maupun puisi. Memang ada beberapa siswa yang langsung antusias, tetapi dapat dihitung dengan sebelah jari. Untuk itu, pendekatan dan metode pembelajaran mengarang harus dirubah agar menyenangkan baik bagi siswa maupun guru. Caranya dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : membawa siswa ke alam, menulis bersama, dan sebagainya.
Perubahan keempat berkaitan dengan penilaian dalam apresiasi. Banyak yang menyayangkan ketika soal-soal apresiasi sastra dibuat dalam bentuk pilihan ganda. Contoh yang sangat nyata adalah soal-soal Ujian Nasional. Dengan ditentukannya jawaban, siswa akan berpikir benar salah. Padahal karya sastra selalu dapat ditafsirkan berbeda. Perbedaan penafsiran harus dihargai dalam kegiatan apresiasi sastra. Dengan menghargai perbedaan siswa akan mendapatkan beberapa nilai seperti menghargai orang lain, demokrasi, berpikir logisdan sebagainya. Oleh karena itu, sebaiknya soal-soal UN dipertimbangkan kembali agar dapat mengukur kemampuan apresiasi.
Bila selama ini pembelajaran sastra lebih mengutamakan pengetahuan tentang sastra seperti teori dan sejarah sastra, sekarang paradigma itu harus dirubah. Pengetahuan tentang sastra dilakukan secara sambil lalu sebagai informasi sekunder. Sastra bukan pengetahuan yang harus dihafalkan. Sastra harus dinikmati sebagai sebuah karya seni seperti lagu-lagu dan lukisan.
Perubahan terakhir berkaitan dengan fungsi karya sastra itu sendiri. Pembelajaran sastra harus mampu menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa. Inilah yang disebut dengan pembangunan karakter. Bila pelajaran eksakta mengutamakan pengembagan intelektual yang berpusat pada otak, pembelajaran sastra mengutamakan pengembangan nilai-nilai dalam jiwa siswa. Banyak sekali nilai yang dapat ditanamkan pada diri siswa melalui karya sastra. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh pelajaran lain. Untuk itulah, sudah seharusnya pembelajaran sastra menggunakan karya sastra sebagai materi utamanya bukan ulasan, ringkasan, resensi atau yang lainnya.
Sekaranglah Saatnya
Momen digalakkannya kembali pendidikan karakter menjadi pemicu yang tepat untuk diadakannya kembali kewajiban membaca karya sastra di sekolah-sekolah. Tanpa itu, pendidikan karakter seperti halnya benih yang dibiarkan kerontang. Karya sastra dapat menjadi setetes embun yang membasahi pucuk daun yang mulai bersemi. Atau juga, tetes-tetes gerimis yang menyuburkan akar-akar karakter yang dapat menjaga kebesaran bangsa agar selalu tegar berdiri walau angin badai meniup kencang. Semoga !(Bambang)

Kamis, 11 Maret 2010

TRANSFORMASI TRADISI

Mengapa muncul cerita Dewi Sri ? Dewi Padi yang mulai dilupakan generasi kini ternyata menyimpan hikmah yang apabila kita renungi merupakan bentuk kecerdasan nenek moyang. Agar ingat kembali, berikut akan diceritakan kembali dongeng yang sempat sangat terkenal itu.
Suatu hari Sanghayang Guru menitahkan semua dewa di kahyangan untuk membawa sebongkah batu sebagai material pembangunan kahyangan. Seorang Dewa tak mampu melaksanakan titah Sanghayang Guru karena keterbatasan fisik. Dialah Dewa Anta yang ditakdirkan berbentuk seekor ular.
Dengan muka sedih Dewa Anta menghadap Batara Narada. Diceritakanlah ketidakmampuannya melaksanakan titah Sanghyang Guru. Begitu menyedihkan keluh kesah Dewa Anta, sampai dari matanya menetes tiga butir air mata. Berkat kesaktiannya, air mata itu menjelma menjadi tiga buah telur. Atas saran Batara Narada, Dewa Anta membawa tiga butir telur itu hendak dipersembahkan kepada Sanghayang Guru.
Dalam perjalanan menuju kahyangan, seekor elang yang tidak tahu permasalahan Dewa Anta menanyakan tujuan Dewa Anta ke kayangan.
" Hendak kemana kau Anta " Dewa Anta tak bisa menjawab karena dalam mulutnya tersimpan tiga butir telur. Begitulah pertanyaan diulang hingga tiga kali. Marahlah elang karena Dewa Anta tak mau menjawab. Disambarlah, telur di mulut Dewa Anta, hingga tertinggal hanya satu butir.
Batara Guru menerima persembahan Dewa Anta dengan senang hati. Meskipun, Dewa Anta hanya memberinya sebuah telur, tetapi itu wujud dari kepatuhannya. Disuruhnya, dewa Anta mengerami telur tersebut. Selang beberapa waktu, menetaslah telur itu. Keluarlah seorang bayi mungil perempuan. Oleh Sang Hyang Guru, bayi itu deiberi nama Dewi Sri.
Tumbuhlah Dewi Sri menjadi gadis yang cantik jelita. Batara Narada melihat sebuah kejanggalan pada tingkah laku Sang Hayng Guru ketika melihat kecantikan Dewi Sri. Kemudian, Batara Narada mencari akal. Diberinya Dewi Sri buah dari surga. Dewi Sri makan buah tersebut. Dan setelah itu, Dewi Sri tak mau makan kecuali buah itu. Lama kelamaan, tubuh Dewi Sri melemah karena tidak mau makan yang lain. Akhirnya, meninggallah Dewi Sri.
Dikuburnya mayat Dewi Sri. Tak berapalama, di atas kuburan Dewi Sri tumbuhlah beraneka tumbuhan. Dari bagian kepalanya tumbuh pohon kelapa. Dari bagian tangannya tumbuh batang padi. dari bagian pinggulnya tumbuh pohon aren (nira). Dari kakinya tumbuh pohon bambu.
Berlanjut.....

Selasa, 09 Maret 2010

MENJADI GURU YANG BERMISI

Tulisan ini merupakan pendapat yang muncul dari endapan pemikiran selama satu setengah semester berinteraksi dengan guru-guru besar di SPS UPI. Tentu saja bukan tidak mungkin, pemikiran ini keliru atau salah persepsi, tetapi sebagai sebuah pendapat tidak ada salahnya untuk didiskusikan bersama.
Selama kurun waktu 8 bulan ada sebuah pemikiran yang mungkin berbeda dari mahasiswa yang satu dengan yang lain. Pemikiran itu adalah ternyata para guru besar yang terhormat itu berusaha menanamkan sebuah prinsip yang selama ini mereka yakini menjadi kunci sebuah keberhasilan.
Salah seorang guru besar selalu tampil dalam kesederhanaan baik dalam pola pikir maupun dalam penampilan fisik. Tidak jarang pula, beliau menunjukkan pengakuan bahwa penjelasan yang baru disampaikan ternyata tidak sesuai dengan buku-buku yang pernah dibacanya. Lalu dibukanya sebuah buku catatan yang sangat rapi. Disampaikannya kembali teori tersebut dengan teliti. Diajaknya mahasiswa mengkritisi teori tersebut. Apabila ternyata, teori tersebut kurang tepat, akan disampaikan alasan-alasan yang masuk akal sehingga pantas kalau teori tersebut perlu direvisi. Beliau mempunyai misi : kesedehanaan, ketelitian dan keberanian bersikap kritis.
Dosen yang lain sering mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang berbeda. Pernah diungkapkan oleh Beliau, bahwa teori perkembangan Jean Piaget perlu direvisi apabila dikaitkan dengan perkembangan psikologis orang Indonesia. Alasannya cukup rasional apabila dikaitkan dengan fenomena yang ada seperti mahasiswa dan politisi yang suka tawuran. Teori yang sudah bertahan berratus tahun itu masihkah relevan hingga kini ? Begitu beliau mengajak mahasiswa berpikir inovatif. Di saat lain, Beliau memunculkan istilah yang sama sekali baru bagi kami, yaitu tata bahasa paedagogis. Tujuannya agar dalam pembelajaran bahasa Indonesia, tata bahasa tidak dilupakan sama sekali. Disinyalir para guru bahasa Indonesia, telah menghilangkan pembelajaran tata bahasa dengan dalih tidak dituntut oleh kurikulum. Beliau mempunyai misi : inovatif.
Guru besar yang lain senantiasa berpenampilan rapi. Apabila berjalan, nyata sekali sebuah keyakinan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia merupakan kebanggaan yang harus selalu dijaga. Begitulah nilai-nilai yang selalu disampaikan kepada para mahasiswa. Hampir di setiap akhir perkuliahan, para mahasiswa diyakinkan pada sebuah kebanggaan bahwa bangsa Indonesia tidak kalah dari bangsa lain. Saudara boleh menjadi orang sukses di mana pun jua, tetapi tetaplah saudara menjadi orang Indonesia. Kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa Indonesia selalu menjadi prinsip Beliau. Semua itu diwujudkan dalam karya-karyanya. Beliau mempunyai misi : kebanggaan dan kecintaan terhadap bangsa Indonesia (nasionalisme).
Kunci utama keberhasilan pendidikan bagi seorang guru adalah kewibawaan. Banyak hal dapat dilakukan guru untuk memperoleh kewibawaan. Beliau menyebutnya alat kewibawaan. Ada guru yang menggunakan media pembelajaran. Tidak sedikit pula yang menggunakan alat berupa kekerasan. Tetapi kewibawaan yang sebenarnya akan muncul dari sebuah keikhlasan. Dengan ikhlas sorang guru akan melakukan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh. Kesungguhan yang konsisten itulah yang akan menghasilkan wibawa. Misi beliau adalah : kewibawaan dan keikhlasan.
Sebuah generalisasi dari beberapa ilustrasi di atas adalah setiap guru memiliki misi. Misi itu lahir dari pengalaman-pengalaman hidup yang kemudian mengkristal menjadi prinsip hidup. Pengalaman hidup setiap manusia selalu berbeda, maka dari itu prinsip hidup yang diyakini pun berbeda. Selanjutnya, misi itupun dikemas menjadi roh dari materi pelajaran yang disampaikan. Dapat dibayangkan apabila di sebuah sekolah terdapat sepuluh sampai lima belas guru, maka misi atau prinsip hidup yang dapat menjadi pilihan siswa untuk diadopsi menjadi prinsip hidupnya. Dengan begitu, siswa akan menjadi kaya dengan teladan-teladan yang dapat menjadi bekal masa depannya.
Salah seorang guru mempunyai prinsip kedisiplinan. Sementara yang lain meyakini kasih sayang sebagai prinsip hidupnya. Secara sepintas seperti berlawanan, tetapi sejatinya kedua prinsip tersebut dapat dipadukan. Bolehlah diibaratkan apabila kita ingin membuat sebuah resep makanan. Buah cabai yang pedas, garam yang asin dan gula yang manis, apabila diramu akan menghasilkan sebuahsambal yang nikmat. Demikian juga, prinsip kehidupan guru akan mewarnai pengalaman hidup siswa. Kuncinya kita meyakini sebuah prinsip dan berusaha menanamkan prinsip tersebut melalui misi dalam pembelajaran kita.(Bambang S)

GETARAN EMOSIONAL : MENUJU PEMBELAJARAN YANG BERMAKNA

Sebuah jargon guru yang sudah sangat akrab di telinga adalah tugas kita bukan mengajar tetapi mendidik. Tugas kita bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih ke arah membangun kepribadian (character building). Jika dalam mengajar, factor utama yang harus kita kuasai adalah materi pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengan strategi penyampaian materi pelajaran seperti metode, media dan sebagainya. Dalam mendidik, factor-faktor yang harus kita kuasai lebih luas lagi.
Agar pemahaman kita tentang mendidik lebih jelas lagi, kita coba kaji ilustrasi hirarki pengetahuan sebagai berikut.
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, seseorang harus melewati 6 tingkatan. Pada level paling bawah terdapat sebuah data. Data hanya akan menjadi data apabila kita tidak membutuhkannya. Terhadap data yang dikehendaki, kita dapat mengolahnya menjadi sebuah informasi (information) yang bermanfaat (level 2). Selanjutnya, beberapa informasi itu dapat dirangkaikan menjadi sebuah pengetahuan (knowledge) yang memudahkan kita memutuskan sebuah masalah (level 3). Tingkat berikutnya adalah pembangunan kecerdasan (intelligent) yang dibuktikan dengan pengambilan keputusan yang benar (level 4). Hirarki paling tinggi berupa kearifan (wisdom) seseorang yaitu ketika orang tersebut mampu menyelaraskan tindakannya dengan nilai-nilai yang berlaku.
Berdasarkan hirarki di atas dapat dilihat bahwa tujuan kegiatan mendidik tidak hanya berhenti pada level 3 (knowledge) atau level 4 (intelligent) karena pada level tersebut masih berada dalam ranah pengetahuan (kognitif). Jika proses pendidikan berhenti pada level itu, berarti kita masih berstatus sebagai “pengajar” yang hanya mentransfer pengetahuan. Kita harus mencapai level tertinggi yang menghasilkan kearifan (wisdom) yang berada pada ranah sikap (afektif).
Sebuah kata bijak dari Herbert Spencer berbunyi “The great aim of education is not knowledge but action “. Jika kita terpaku hanya pada tujuan menghasilkan siswa yang cerdas dalam pengetahuan, kita hanya membekali siswa sebuah ‘badan’ tanpa ‘roh’, sehingga bukan tidak mungkin siswa akan bersikap dan berperilaku yang tidak sesuai dengan pengetahuan yang dikuasainya. Kita semua tahu korupsi itu sebuah tindak kejahatan, tetapi mengapa Negara kita selalu bercokol di papan atas liga korupsi dunia ?
Barangkali salah satu jawabannya ada pada proses pendidikan kita. Terlalu sering kita berpuas diri apabila siswa kita mencapai sebuah KD yang kita ajarkan. Tanpa menyadari bahwa sebenarnya KD tersebut dapat disalahgunakan oleh siswa. Untuk itu, kita memberikan makna mulia yang terkandung dalam sebuah materi pelajaran. Caranya adalah dengan melakukan sentuhan-sentuhan emosional atau getaran emosional (emotional thrill) agar nilai-nilai mulia dalam materi tersebut tertanam dalam hati siswa.
Contoh sederhana jika kita ingin membelajarkan siswa tentang korupsi. Sisi emosional yang dapat digetarkan adalah kesadaran tentang bahaya korupsi bagi dirinya dan orang lain. Siswa dapat dibawa untuk melihat kemiskinan yang diderita rakyat banyak untuk menunjukkan bahayanya korupsi. Dengan menyentuh sisi emosional dalam diri siswa akan terbangung sebuah pola pikir bahwa korupsi merupakan kejahatan yang sangat biadab. Bandingkan misalnya siswa hanya dijejali pengetahuan tentang pengertian korupsi dan bahayanya. Dalam diri siswa hanya tertanam sebuah pengetahuan tanpa sebuah kesadaran.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk menggetarkan emosi siswa. Tentunya rekan-rekan semua mempunyai pengalaman. Ini salah satu poin yang disampaikan Prof. Dr. Yoyo Mulyana dalam perkuliahan. Ide dan saran teman semua, akan sangat bermanfaat.(Bambang)

TATA BAHASA PAEDAGOGIS

Sejak adanya kritik terhadap kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, paradigma kurikulum berubah dari pembelajaran tentang bahasa ke arah pembelajaran ketrampilan berbahasa. Konsekuensinya, materi pelajaran sekarang ini dipenuhi oleh materi yang ditujukan untuk mengasah ketrampilan berbahasa yang terdiri membaca, menulis, menyimak dan berbicara.
Jikalau, beberapa decade lalu, kita dapat dengan mudah menemui materi tata bahasa, kini tidak lagi. Sebagai guru bahasa Indonesia, kita sering bingung untuk menempatkan materi tata bahasa. Bahkan karena tidak ada tuntutan secara eksplisit dari kurikulum, materi tata bahasa akhirnya sering kita lupakan.
Berbagai keluhan kemudian muncul. Banyak siswa yang kemudian hanya mengutamakan kemampuan ketrampilan berbahasa, tanpa didasari penguasaan tata bahasa yang benar. Kenyataan ini dapat dengan mudah ditemui di lapangan. Karangan siswa yang tidak patuh tata kalimat. Pidato siswa yang berisi kosa kata tidak baku.
Masih pentingkah materi tata bahasa diberikan kepada siswa ? Kiranya kita semua sepakat, bahwa pengetahuan tentang tata bahasa akan meningkatkan ketrampilan berbahasa seseorang. Dengan mengetahui tata susunan kalimat, karangan atau pembicaraan seseorang akan terstruktur dan mudah dipahami pembaca dan pendengarnya. Demikian juga, ketika kita menyimak dan membaca. Pemahaman kita akan meningkat jika kita mengerti pokok-pokoknya.
Permasalahannya adalah bagaimana kita mengajarkan tata bahasa jika dalam kurikulum tidak tercantum secara eksplisit. Dari sinilah kemudian muncul istilah tata bahasa paedagogis. Istilah ini saya dengar ketika mengikuti kuliah Dr. Andoyo Sastromiharjo. Beliau membagikan sebuah pengalaman ketika mengisi sebuah seminar tenta pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam seminar itu terungkap, bahwa mayoritas guru bahasa Indonesia mengabaikan tata bahasa dalam pembelajaran. Perhatian utama guru adalah mencapai kompetensi dasar yang pokok utamanya terpusat pada ketrampilan berbahasa. Padahal apabila dicermati secara lengkap, sebuah KD mempunyai prasyarat tata bahasa, Sebagai contoh :
Mencerita¬kan peng¬alam¬an yang paling me¬nge¬sankan dengan mengguna¬kan pilihan kata dan kalimat efektif ( KD berbicara kelas 8)
Ketrampilan berbahasa yang dituntut oleh KD tersebut adalah menceritakan kembali. Sering guru hanya berkosentrasi pada ketrampilan berbahasa yang dituntut sehingga lupa bahwa tuntutan KD tersebut bukan hanya ketrampilan, tetapi juga penguasaan tata bahasa dalam hal ini diksi (pilihan kata) dan sintaksis (tata kalimat). Di sinilah kemudian muncul sebuah pemikiran, bagaimana mengajarkan tata bahasa tanpa menghilangkan esensi pembelajaran ketrampilan berbahasa. Jawabannya ada pada tata bahasa paedagogis.
Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa tata bahasa paedagogis merupakan serpihan-serpihan materi tata bahasa yang diselipkan dalam pembelajaran ketrampilan berbahasa. Serpihan-serpihan tata bahasa tersebut dipilih dan dikemas secara efektif dan efisien sehingga hakikat pembelajaran berbahasa tetap pada relnya.
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana kita mengembangkan tata bahasa paedagogis sehingga langsung dapat dimanfaatkan dalam mengasah ketrampilan berbahasa. Dalam forum ini, saya mengundang teman-teman untuk memberikan sumbang sarannya.(Bambang)

Jumat, 05 Maret 2010

PEMBELAJARAN SASTRA DAN ANJING PEMBURU

Dalam sebuah seminar tentang pembelajaran sastra yang diadakan oleh Prodi Bahasa Indonesia SPS UPI Bandung, Prof. Dr. Yus Rusyiana memberikan sebuah analogi bagi pembelajaran sastra yang cukup ampuh dari masa ke masa. Beliau memberikan contoh bagaimana seekor anjing pemburu di latih agar naluri berburunya tajam.
Setiap hari, anjing pemburu dicelupkan ke dalam sebuah baskom yang berisi darah.
Apabila setiap hari, seekor anjing senantiasa berinteraksi dengan bau anyir darah, naluri berburunya akan semakin tajam sehingga setiap mencium aroma hewan buruan, secara otomatis akan berlari mengejar hewan buruan.
Demikian juga dengan pembelajaran sastra. Cara yang paling efektif adalah 'mencelupkan' siswa ke dalam 'karya sastra'. Dengan mengenalkan siswa kepada karya sastra, naluri kesenangannya terhadap sastra akan terasah sedikit demi sedikit. Memberikan teori bukannya tidak berguna. Teori sastra akan memberikan bekal untuk memahami karya sastra. Tetapi yang terjadi, siswa hanya puas dengan menghafal dan memahami istilah-istilah sastra. Padahal, hakikat pembelajaran sastra bukan terletak pada teori sastra tetapi lebih pada karya sastra.
Permasalahannya adalah bagaimana kita dapat mencelupkan siswa kedalam darah sastra ? Marilah kita berdiskusi untuk hal ini !(Bambang)