TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Inilah Kami

Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki arti penting baik secara akademis maupun politis. Namun, dari masa ke masa entah disadari atau tidak, banyak pihak yang telah memarjinalkan pembelajaran BI pada posisi yang "hanya disentuh" jika diperlukan.

Kamis, 09 Desember 2010

KESANTUNAN BERBAHASA PENGGUNA FACE BOOK

A. Pendahuluan
Jaringan face book saat ini menjadi sebuah media komunikasi yang akrab di kalangan masyarakat. Berdasarkan perkiraan kasar, pengguna face book di seluruh dunia sudah mencapai ratusan juta. Di Indonesia pengguna face book sampai bulan April 2010 pengguna Facebook di Indonesia mencapai 21.027.660 tumbuh tertinggi kedua di Asia setelah Malaysia (wikipedia.org) Jumlah ini akan terus berkembang karena setiap hari pengguna face book akan terus bertambah.
Selain berdampak positif, beberapa kasus penah terjadi sebagai dampak negative penggunaan face book. Komnas Perlindungan Anak (PA) mencatat, dari 100 laporan pengaduan dampak Facebook, 60 kasus berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak baik oleh anak. (Kompas.com, 17 Februari 2010) Empat siswa SMAN 4 Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dikeluarkan dari sekolah. Mereka dituduh menghina salah seorang guru wanita di sekolah itu melalui jejaring sosial Facebook. (Kompas.com, 15 Februari 2010) Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring. Politisi PKS itu menyayangkan penggunaan bahasa kasar dalam komunikasi di situs jejaring sosial. (news.okezone.com)
Penelitian tentang dampak face book pernah dilakukan. Muhammad Effendi meneliti Fenomena penggunaan facebook di Indonesia (fend-skripsifendighozali.blogspot.com) Gustitia Putri P dari UNS Surakarta meneliti dampak budaya dalam skripsi berjudul “Analisis Positif Negatif Facebook di Indonesia”
Sebagai media komunikasi, face book mengandalkan ketrampilan berbahasa (menulis dan membaca ) sebagai alat menyampaikan pikiran dan perasaan. Walaupun ada beberapa menu yang memungkinkan menampilkan fitur gambar dan film, tetapi fitur-fitur tersebut selalu diiringi menu komentar yang memungkinkan pengguna face book menyatakan ide, pendapat, perasaan dan sebagainya. Dalam penyampaiannya, pengguna face book terikat oleh aturan formal seperti tidak diperbolehkan mengungkapkan hal-hal yang berbau pornografi dan aturan informal seperti kesantunan.
Kesantunan dalam berbahasa sangat dibutuhkan karena akan berpengaruh dalam proses komunikasi. Beberapa kasus yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa kesantunan bebahasa dalam face book merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan.
Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dianalisis kesantunan berbahasa pada jaringan face book, khususnya dalam pengungkapan kalimat direktif yang berupa saran dan permintaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimanakah pemakaian bahasa Indonesia dalam jaringan face book ditinjau dari segi kesantunan berbahasa.
B. Definisi
1. Face Book
Facebook adalah sebuah sarana sosial yang membantu masyarakat untuk berkomunikasi secara lebih effisien dengan teman-teman, keluarga dan teman sekerja. Perusahaan ini mengembangkan teknologi yang memudahkan dalam sharing informasi melewati social graph, digital mapping kehidupan real hubungan sosial manusia. Siapun boleh mendaftar di Facebook dan berinteraksi dengan orang-orang yang mereka kenal dalam lingkungan saling percaya.” (Wikipedia.or.id)
Penemu situs pertemanan ini adalah Mark Zuckerberg seorang mahasiswa “droup out” Universitas Harvard Amerika Serikat. Dia dilahirkan pada 14 Mei 1984. Kejeniusan dan kreativitas lewat Facebook menempatkan dirinya sebagai jajaran 400 orang terkaya di Amerika Serikat versi Majalah Forbes edisi September 2008, tepatnya peringkat 321 dengan total kekayaan 1,5 Miliyar Dollar US. (Forbes.com; September 2008)
Banyak menu yang terdapat pada jaringan face book. Menu utama berupa “beranda” yang memungkinkan pengguna mengungkapkan semua perasaan dan pikirannya dan kemudian ditanggapi oleh pengguna lain yang sudah terikat pertemanan. Menu “profil” berisi “dinding, info, foto, video, tautan dan sebagainya”. Menu-menu ini menyediakan kolom komentar yang dapat diisi oleh pengguna untuk menyatakan tanggapan dan pendapatnya.

2. Kesantunan Berbahasa
a. Pengertian
Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama". (Muslich, 2006)
Selanjutnya Muslich menyatakan bahwa kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tata cara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tata cara berbahasa orang Jawa bebeda dengan tata cara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonsia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.
Hal di atas sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat ( Aslinda, 2007:93) yang menyatakan bahwa bahasa merupakan unsur utama yang mengandung semua unsur kebudayaan manusia lainnya. Saat ini, setelah unsur-unsur lain dari kebudayaan manusia telah berkembang, bahasa hanya merupakan salah satu unsur, namun fungsinya sangat penting bagi kehidupan manusia.
Secara implisit Nababan ( 1989:38) memasukan kesantunan berbahasa sebagai kompetensi sosiolinguistik. Kompetensi sosiolinguistik mengalamatkan atau mengarahkan luas/ tingkat pemahaman ucapan-ucapan yang dihasilkan dan dipahami secara tepat dan memuaskan dalam berbagai kontekstual seperti status partisipan, maksud/ tujuan interaksi, dan norma-norma atau konvensi-konvensi interaksi teradap faktor-faktor tersebut.
Apabila dikaitkan dengan moral, kesantunan berbahasa termasuk tolok ukur moral seseorang. Sebagaimana dinyatakan oleh Magnis Suseno (Budiningsih, 2004: 24) bahwa moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Tindakah lahiriah ini salah satunya adalah ucapan atau kegiatan berbahasa seseorang. Jadi dapat dikatakan bahwa kesantunan berbahasa mencerminkan moralitas seseorang.
b. Pembentukan Kesantunan Berbahasa
Sebagaimana disinggung di muka bahwa kesantunan berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech dalam Muslich, 2006 ) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip.
1) Penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan prinsip-prinsip kesantunan yang terdiri dari : (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.
2) Penghindaran pemakaian kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk padaorgan-organ tubuh yang lazimditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata "kotor" daqn "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu.
3) Sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif.
4) Penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidakmengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.
Grice (Leech,1983:11) mengemukakan bahwa prinsip kerja sama dalam penggunaan bahasa yang tertib itu direalisasikan dengan memperhatikan empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Maksim kuantitas menghendaki agar dalam melakukan tindak tutur, setiap partisipan memberikan informasi yang cukup, yakni sebanyak yang diperlukan oleh mitra tuturnya. Maksim kualitas mengikat setiap partisipan untuk menyampaikan hal yang benar kepada mitra tuturnya. Maksim relevansi mengikat setiap partisipan memberikan kontribusi (informasi) yang relevan dengan hal atau topik yang sedang dibicarakan. Maksim cara mengikat setiap partisipan untuk mengungkapkan informasi secara benar, langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebihan.
C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi ( content analysis ). Fraenkel dan Willan (2001 : 483) menyatakan analisis isi adalah teknik yang dapat digunakan peneliti untuk mengkaji perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis terhadap komunikasi mereka seperti : buku teks, esay, Koran, novel, artikel majalah, lagu, gambar iklan dan semua jenis komunikasi yang dapat dianalisis.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi. Kata “dokumen”, digunakan untuk mengacu pada setiap tulisan atau bukan selain “rekaman”, yaitu tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti surat-surat, buku harian, naskah editorial surat kabar, catatan kasus, skrip televisi, foto-foto (Syamsudin dan Vismaia, 2007:108) Sesuai dengan pengertian ini, tuturan-tuturan pengguna face book yang tercantum pada menu dinding dapat dianggap sebagai dokumen. Untuk mengetahui usia dan tingkat pendidikan, peneliti memeriksa informasi pengguna face book yang tercantum pada menu info.
Jumlah pengguna face book yang diteliti 277 orang dengan perincian sebagai berikut : (1) Remaja berpendidikan SMP berjumlah 52orang ,(2) Remaja berpendidikan SMA berjumlah 78 orang (3) Dewasa berpendidikan Mahasiswa berjumlah35orang (4)Dewasa berpendidikan sarjana berjumlah 47 orang dan (5) Diluar ketegori dan tidak diketahui berjumlah 65orang.
Dari populasi tersebut ditarik sampling secara purposif dengan mengambil tuturan yang berisi kalimat berilokusi direktif saran dan permohonan. Searle (Leech,1983:164) menyatakan ilkokusi direktif bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh petutur misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, dan memberi nasihat.
Selanjutnya tuturan-tuturan tersebut dianalisis menggunakan model alir. Model yang dinyatakan oleh Miles dan Huberman mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :
1. Antisipasi, yaitu untuk menyiapkan butir-butir yang akan dianalisis.
2. Reduksi data, yaitu kegiatan untuk memilah, mengelompokan dan mengurangi data sehingga data mencapai titik jenuh.
3. Penyajian data, yaitu penyajian data hasil reduksi untuk kemudian dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip kesantunan.
4. Penarikan kesimpulan, merupakan langkah terakhir dari analisis data.
D. Hasil Penelitian
Dari hasil reduksi data diperoleh 32 situasi tutur yang berisi kalimat direktif saran dan permintaan dan dikategorikan berdasarkan usia dan pendidikan penutur dan petutur. Tiga puluh dua situasi tutur berisi 72 tuturan. Tuturan tersebut dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip kesantunan yaitu (1) prinsip kesantunan Leech (2) Ketiadaan kata tabu (3)Eufimisme (4) Honorifik dan (5) prinsip kerjasama Grice.
Diperoleh 49 tuturan yang memenuhi prinsip kesantunan dan 24 tuturan yang tidak memenuhi prinsip kesantunan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 berisi :
1. No data tuturan ( 1 – 32 )
2. Tuturan (setiap tuturan diberi nomor kode seperti 1a,1b,1c dan selanjutnya)
3. kategori penutur dan petutur yang meliputi usia (R untuk remaja, D untuk dewasa) ,tingkat pendidikan (P untuk SMP. A untuk SMA, M untuk mahasiswa dan S untuk sarjana )dan jenis kelamin (L untuk laki-laki dan P untuk perempuan)
4. Prinsip Kesantunan Leech berisi maksim-maksim kesantunan yang dipenuhi atau dilanggar oleh tuturan. Kode (T) dbelakang maksim berarti tuturan tersebut tidak memenuhi maksim.
5. Kata Tabu (A berarti ada, TA berarti tidak ada )
6. Eufimisme (A berarti ada, TA berarti tidak ada, TP berarti tidak diperlukan)
7. Honorifik (A berarti ada, TA berarti tidak ada, TP berarti tidak diperlukan)
8. Prinsip kerjasama Grice berisi maksim-maksim kerja sama yang dipenuhi atau dilanggar oleh tuturan. Kode (T) dbelakang maksim berarti tuturan tersebut tidak memenuhi maksim.
9. Simpulan (Santun dan tidak santun )

Dalam table 2, kajian dilakukan untuk melihat tuturan berdasarkan kelmpok penutur dan petutur. Diperoleh ketidak santunan sebanyak 2 dari 4 tuturan( 50 %) untuk remaja SMP dengan remaja SMP. Ketidak santunan sebanyak 10 dari 20 tuturan ( 50% ) untuk kelompok remaja SMA dengan remaja SMA. Tidak ditemukan ketidaksantunan pada kelompok remaja SMA dengan dewasa mahasiswa. Ketidak santunan sebanyak 5 dari 10 (50%) pada kelompok dewasa mahasiswa dan dewasa mahasiswa. Terdapat ketidak santunan 3 dari 13 tuturan ( 23 % ) antara remaja SMA dengan dewasa sarjana. Ketidak santunan 4 dari 24 (16 %) pada tuturan antara dewasa sarjana dengan dewasa sarjana.
Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan terbesar pada prinsip kerja sama Grice ( 17 pelanggaran ) diikuti pelanggaran prinsip kesantunan Leech (12 pelanggaran). Penggunaan kata-kata tabu terjadi pada 10 tuturan dan penghilangan eufimisme terjadi 10 kali. Semua tuturan memenuhi prinsip penggunaan honorific.
E. Diskusi
Dari hasil analisis di atas, beberapa temuan perlu didiskusikan lebih lanjut.
1. Pelanggaran terhadap prinsip kasantunan terjadi pada semua situasi tutur, walaupun persentasenya menurun seiring dengan tingkat usia dan tingkat pendidikan. Dalam situasi tutur antara usia remaja berpendidikan SMP, usia remaja berpendidikan SMP dan dewasa berstatus mahasiswa, persentase kesantunan sekitar 50 %. Menurun pada situasi tutur dewasa berstatus sarjana. Hasil ini sejalan dengan, fenomena yang diungkap oleh Sauri ( 2006: 112). Dalam bertutur kata para remaja menunjukkan ketidaksantunan bahasa yang digunakan dalam pembicaraan antarremaja. Dalam pandangan sosiolinguistik, gejala ini juga sejalan dengan beberapa penelitian seperti yang dikemukakan oleh Wardough (2001:167). Ia menyimpulkan bahasa yang digunakan remaja mencerminkan usia dan menjadi bahasa yang aneh bagi usia yang lebih tua.
2. Pelanggaran prinsip kesantunan bervariasi pada berbagai situasi tutur. Pelangaran prinsip kesantunan Leech dan Grice mendominasi ketidaksantunan antara orang dewasa. Pelanggaran yang berupa kata-kata tabu dan tidak adanya eufimisme mendominasi ketidak santunan berbahasa anak remaja. Gejala penggunaan kata tabu dalam bahasa remaja dapat ditinjau dari sudut pandang psikolinguistik. Kata Tabu mempunyai tujuan utama untuk menyalurkan situasi emosional dalam diri manusia. (Jay, 2004: 335). Secara psikologis, remaja dalam kondisi emosi yang masih labil sehingga cenderung lebih mudah mengungkapkan kata-kata tabu.
3. Selain temuan-temuan di atas, hal menarik lainnya yang berkenaan dengan pemakaian bahasa pada face book adalah munculnya bahasa khusus yang berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya. Fenomena ini lebih tampak pada pemakaian bahasa oleh anak remaja dengan pendidikan SMP dan SMA. Pemakaian bahasa seperti ini sudah lama muncul dan menjadi bahan kajian. Beberapa media pernah mengungkapkan hasil kaijannya seperti Majalah Gema Widyakarya edisi 04 tahun 2010 mengungkapkan penggunaan bahasa Alay atau bahasa khusus yang sering digunakan dalam SMS dan face book. Kata-kata seperti : dunt (dong) , mupzh (maaf), beud (banget), sxan (sekalian), ftx (fotonya),bdw ,(by the way) dan sebagainya.
F. Kesimpulan
Dengan penelitian analisis isi diperoleh gambaran bahasa yang dipakai oleh para pengguna face book. Gambaran ini diperoleh dengan mengambil data tuturan pengguna face book yang berjumlah 277 orang yang terdiri dari berbagai usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Sampel ditarik secara purposif dengan mengambil tuturan yang berilokusi direktif berupa saran dan permintaan. Diperoleh 72 tuturan dari 32 situasi tutur.
Penelitian ini menghasilkan beberapa fenomena yang layak untuk didiskusikan lebih lanjut. Ketidaksantunan berbahasa terjadi pada semua tingkatan usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Prinsip-prinsip yang dilanggar bervariasi, namun tampak bahwa pengguna face book tingkat usia remaja cenderung lebih tidak santun dan lebih banyak menggunakan kata-kata tabu. Selain itu, muncul penggunaan bahasa yang tidak selazimnya dalam face book atau dikenal dengan bahasa Alay.
Ketiga fenomena di atas perlu dipecahkan, khususnya bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan dunia pendidikan, termasuk kita semua. Apakah gejala ini akan hilang seiring dengan perkembangan usia dan meningkatnya pendidikan kaum remaja ? Tentu saja tidak. Pendidikan yang mengajarkan tata cara berbahasa masih diperlukan untuk memperbaiki semua itu.(Bambang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar