TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Inilah Kami

Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki arti penting baik secara akademis maupun politis. Namun, dari masa ke masa entah disadari atau tidak, banyak pihak yang telah memarjinalkan pembelajaran BI pada posisi yang "hanya disentuh" jika diperlukan.

Selasa, 13 September 2011

MENCIPTAKAN UJIAN SEBAGAI PEMBANGKIT MOTIVASI INTRINSIK

A. Pendahuluan
Ujian Nasional yang disingkat menjadi UN atau masyarakat akrab memanggilnya dengan UAN, sejak dicetuskannya sekitar sepuluh tahun lalu telah menjadi magnet kuat yang mampu menarik berbagai pihak baik internal pendidikan maupun dari luar pendidikan untuk menyikapinya. Tentu saja bagi kalangan internal pendidikan, sikap yang diambil lebih intens dan terarah. Sedangkan bagi dunia di luar pendidikan, sikap yang diambil lebih cenderung pada sikap evaluatif baik yang mengarah positif maupun negatif.
Begitu kuatnya daya tarik UN bagi dunia pendidikan menjadikan segala proses pendidikan seolah menuju kepadanya. Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan di tingkat terrendah yaitu sekolah sampai dengan tingkat tertinggi yaitu nasional seakan-akan diukur dengan hasil UN, baik dari segi kualitas (peringkat nilai UN) maupun kuantitas (persentase kelulusan). Semakin rendah nilai dan persentase kelulusan suatu sekolah menjadi dasar penilaian kualitas lembaga tersebut. Demikian juga yang terjadi di tingkat daerah, wilayah sampai dengan nasional.
Secara kasat mata kita dapat menyaksikan begitu kuatnya magnet UN itu pada tingkat sekolah. Sejak awal siswa menginjak di kelas terakhir, gaung UN mulai terdengar. Bahkan kini, dengan konsep baru, sayup-sayup UN mulai dihembuskan sejak siswa duduk di dua atau tiga kelas terakhir. Gaung UN semakin kuat seiring waktu yang kian mendekat pada hari pelaksanaan. Jika dianalogikan, menjelang detik-detik pelaksanaan, gaung itu telah bermetamorfosis menjadi tornado atau angin putting beliung yang menjadikan situasi berubah status menjadi “awas”.

Ketika status menjadi begitu darurat, segala cara cenderung digunakan untuk mencari selamat. Demikianlah yang sering kita dengar baik yang masih berupa bisik-bisik, obrolan warung kopi, sampai yang serius seperti kasus “Siami” beberapa waktu lalu.
Uraian di atas cukup menggambarkan bahwa, magnet UN telah membuat hampir semua kompenen pendidikan melupakan hakikat evaluasi yang sebenarnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, mereka telah mengabaikan hakikat pendidikan yang sebanarnya.
Tulisan ini tidak untuk mengungkap “bisik-bisik” seputar UN yang tentu saja jika dibicarakan tidak selesai karena semua pihak yang terlibat sudah pasti akan saling beradu argumentasi. Tulisan ini hanya mencoba mengungkap bahwa selain UN yang telah menyedot energi, terdapat sebuah konsep evaluasi yang seharusnya dijadikan pedoman bagi semua pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, khususnya pengajaran bahasa Indonesia.
UN wajib kita sukseskan, tetapi konsep evaluasi juga harus dipahami dan diimplementasikan dalam pengajaran agar keberhasilan siswa kita bukan hanya berupa nilai kosong yang tanpa makna. Dengan implementasi konsep evaluasi, diharapkan nilai yang tercantum diijazah dengan gagah itu menjadi gambaran kualitas siswa secara menyeluruh.

B. Pandangan Douglas Brown tantang Ujian
Konsep tentang ujian diungkap oleh H. Douglas Brown dalam bukunya “Teaching by Principles”. Berikut ini, disajikan rangkuman salah satu bab dalam buku tersebut.
Tes harus dibedakan dengan pengajaran walaupun keduanya saling tergantung. Di dalam proses pengajaran sering dilakukan tes yang bersifat informal atau disebut tes formatif. Yang dimaksud tes adalah tes formal yang harus dirancang khusus dan sistematis untuk mengatahui seluruh kemampuan dan pengetahuan secara ekstensif. Tes ini disebut juga dengan tes sumatif yang biasanya dilakukan setelah akhir unit, modul, atau semester.
Dari sudut ilmu pendidikan, pemisahan tes dan pengajaran sangat penting dalam kaitannya dengan motivasi intrinsik. Untuk mencapai hasil optimal, siswa sebaiknya diberikan kebebasan untuk berkesperimen dan mencoba untuk menguji hipotesis tanpa merasa bahwa kemampuannya sedang dijui.
Tanda-tanda perbaikan tes bahasa sudah muncul. Hal ini ditandai oleh beberapa indikator seperti :
1. Pandangan baru tentang intelegensi
Semula intelegensi dianggap sebagai kemampuan berbahasa dan matematika saja sehingga tes mengacu pada aturan seperti : dibatasi waktu, pilihan ganda, pengecoh, panjang dan artificial. Gardner mengajukan jenis intelegensi sebagai kemampuan (1) bahasa (2) matematika (3) spasial (4) musical (5) kinestetik (6) interpersonal dan (7) intrapersonal. Stenberg menambahkan lagi dengan (8) kreatif dan rekayasa. Pandangan ini memberikan kebebasan untuk merencanakan tes agar benar-benar mengukur seluruh kemampuan berbahasa, proses belajar dan kemampuan mendapatkan makna.
2. Tes berbasis Penampilan
Tes ini mulai dikembangkan untuk menggantikan tes tertulis. Bentuknya antara lain : masalah terbuka, proyek, portofolio, eksperimen, laboratorium, penulisan esai, kerja kelompok. Walapun tes ini membutuhkan waktu dan lebih mahal, tetapi menghasilkan validitas yang lebih tinggi. Siswa diuji dalam penampilan yang actual. Validitas isinya diukur melalui proses berdasarkan criteria perilaku yang telah ditetapkan.
3. Tes Interaktif Bahasa
Tes interaktif diilhami oleh teori Intelegensi Gardners . Siswa dilibatkan dalam proses kreatifitas berinteraksi dengan orang lain. Tes interaktif mengukur penampilan perilaku secara actual. Berbeda dengan tes tertulis pilihan ganda, tes interaktif melibatkan diasumsikan lebih baik karena dapat mendapatkan gambaran penampilan berbahasa secara keseluruhan.
Contohnya adalah tes dialog fungsional (Wesche , 1983) dan Tes Batere (Merill Swain ,1990) Tes dialog fungsional meletakan siswa pada situasi imjiner yang menugaskan mereka bermain peran dan diminta untuk melengkapi fungsi tertentu seperti informasi, persuasi dsb. Tes baterai yang memasukan pilihan ganda sebagai salah satu komponen di dalam tiga bagian tes. Dua bagian yang lain mengukur ketrampilan komunikasi lisan dan kemampuan menulis. Masing-masing bagian menyumbang pada tata bahasa, wacana dan kemampuan sosiolinguistik.
Agar sebuah tes bahasa yang dapat memberikan motivasi intrinsic, beberapa prinsip berikut harus dipenuhi.
1. Prinsip yang memberikan siswa persiapan tambahan
Dapat dilakukan dengan : (a) memberikan format tes secara umum (b) memberikan informasi tentang tipe soal (c) memberikan kesempatan pada siswa untuk berlatih soal tertentu (d) mendorong siswa mereviu materi (d) memberikan saran dan strategi dalam persiapan (e) saran dan strategi pada waktu tes (f) membuat tes menarik.
2. Vaiditas Permukaan
Sering siswa tidak mengetahui kemampuan apa yang sedang dites. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah agar siswa merasa tes ini valid, yaitu : (a) menyusun tes dengan teliti dan format yang baik (b) soal jelas dan lengkap (c) petunjuk yang jelas (d) tugas sudah dikenali dan berhubungan dengan materi (e) tingkat kesulitan yang sesuai (f) kondisi dibisakan dengan cara terbaik agar siswa menampilkan yang terbaik.
3. Prinsip Keaslian
Pastikan bahasa di dalam tes sealamiah dan seasli mungkin. Tes bahasa dilaksanakan dalam sebuah konteks dengan mengorganisasi tema-tema yang membuat siswa nyaman dan senang. Demikin juga suasana tes dirancang senyaman mungkin bagi siswa.
4. Prinsip ‘pencucian kembali’
Prinsip ini berimplikasi siswa dapat mendiskusikan umpan balik dan mengevaluasi. Hal ini dapat menguntungkan bagi proses belajar karena dapat menjadi alat diagnosis kesulitan belajar.
Pandangan Brown di atas menyadarkan kita bahwa evaluasi bukan hanya terfokus pada UN yang selama ini telah menyita energi kita. Evaluasi merupakan bagian dari proses pendidikan yang mempunyai pijakan kuat pada teori dan prinsip yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
C. Kaitan Ujian dengan Motivasi Belajar
Ujian mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi. Secara gamblang kita dapat menyaksikan siswa kita memacu dirinya agar mendapatkan nilai bagus dalam sebuah ujian. Permasalahannya adalah bagaimana agar motivasi siswa tersebut mengarah pada keberhasilan proses pendidikan yang sebenarnya, bukan terbatas pada nilai bagus semata tetapi pada pencapaian tujuan pembelajaran.
Peran motivasi intrinsik dalam keberhasilan proses belajar sangatlah penting. Dalam sebuah konferensi yang membahas kegagalan pendidikan di Amerika Serikat, para ahli pendidikan sepakat memasukan motivasi sebagai salah satu dari empat pokok pembahasan yang menentukan keberhasilan pendidikan. Keempat pokok pembahasan itu adalah : (a) struktur belajar (b) kesiapan (c) hakikat intuisi dan (d) motivasi. (Nasution, 2006:2).
Motivasi intrinsik dapat dibangkitkan dengan berbagai cara. Nilai-nilai ujian, penghargaan, pujian dan hadiah-hadiah merupakan sarana untuk membangkitkan motivasi. Namun motivasi seperti ini sifatnya jangka pendek dan bersifat temporer. Untuk membangkitkan motivasi yang sifatnya jangka panjang diperlukan strategi tertentu. Menanamkan bahwa bahan pelajaran memiliki nilai atau makna bagi kehidupan adalah salah satunya. (Nasution, 2006:13).
Sertain (Sagala,2010:100) membagi motivasi menjadi motivasi psikologikal dan motivasi social. Motivasi psikologikal bersifat dorongan-doroangan fisiologis seperti lapar, haus, seks dan sebagainya. Motivasi social berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat seperti dorongan estetis, berbuat baik dan sebagainya. Woodworth mengklasifikasi motivasi menjadi (a) motivasi yang tidak dapat dipelajari, yaitu berupa dorongan yang ditimbulkan oleh kebutuhan dan kekurangan dalam tubuh seperti lapar, haus, sakit dan sebagainya (b) motivasi yang dapat dipelajari yaitu motif yang diperoleh melalui latihan dan kehidupan seperti tujuan hidup, masa depan dan sebagainya.
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan dasar yang primer seperti pakan, papan dan sandang. Rasa aman dan perlindungan seperti bebas dari bahaya, ancaman, ketakutan, ketidakadilan dan bencana. Rasa setia kawan, diakui oleh kelompok, kerjasama adalah contoh kebutuhan social. Manusia juga membutuhkan penghargaan berupa prestasi, prestise, kekuasaan, kemampuan, dan kepemilikan. Kebutuhan aktualisasi diri merupakan puncak hirarki yang berupa kebebasan berekspresi, kreatifitas, pengetahuan, estetis, dan pengembangan diri.
Ausubel (Nasution, 2006 : 181) menyatakan motivasi bukan merupakan syarat mutlak untuk belajar. Tak perlu ditunggu lebih dahulu adanya motivasi sebelum belajar. Bila sebuah proses belajar berhasil, maka akan timbul motivasi dengan sendirinya dan keinginan untuk lebih banyak belajar.
Skiner berpendapat masalah motivasi bukan soal memberikan motivasi, akan tetapi lebih terfokus pada cara mengatur kondisi belajar sehingga memberikan reinforcement (Nasution, 2006 : 181).
Motivasi intrinsik yang diharapkan muncul oleh sebuah tes seperti yang diharapkan Brown adalah motivasi alamiah yang muncul dari dalam individu pelajar untuk mengeluarkan seluruh kemampuan dan pengetahuan tanpa adanya tekanan seperti lulus dan tidak lulus seperti dalam tes-tes yang sering dilakukan selama ini. Tanpa adanya tekanan seperti itu, siswa dapat mengeluarkan semua ide-idenya sehingga diperoleh kemampuan bahasa yang alamiah.
Bagaimanakah motivasi yang dibutuhkan siswa ? Untuk menjawab pertanyaan ini sebaiknya motivasi diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip motivasi ( Hamalik,181-3 ). Secara ringkas, prinsip-prinsip motivasi adalah sebagai berikut :
• Pujian lebih efektif daripada hukuman
• Semua siswa mempunyai kebutuhan psikologis yang mendasar yang harus mendapat kepuasan.
• Motivasi yang berasal dar dalam individu lebih efekteif daripada motivasi yang berasal dari luar.
• Jawaban yang tepat membutuhkan penguatan
• Motivasi mudah menjalar dan menyebar luas kepada orang lain.
• Pemahaman yang jelas akan tujuan belajar akan merangsang motivasi.
• Tugas-tugas yang berasal dari diri sendiri akan menimbulkan minat yang lebih besar untuk mengerjakannya daripada tugas dari guru.
• Pujian-pujian yang dating dari luar kadang-kadang cuku efektif.
• Teknik dan prosedur mengajar yang bermacam-macam efektif memelihara minat siswa.
• Minat khusus yang dimiliki siswa berdaya guna untuk mempelajari hal-hal lainnya.
• Kegiatan yang dapat merangsang minat siswa dengan kemampuan kurang tidak ada artinya bagi siswa berkemampuan tinggi.
• Tekanan dari kelompok siswa umumna lebih efektif dalam memotivasi dibandingkan tekanan dari orang dewasa.
• Motivasi yang tinggi erat hubungannya dengan kreatifitas siswa.
• Kecemasan akan menimbulkan kesulitan belajar.
• Tugas yang terlalu sukar dapat mengakibatkan frustasi sehingga dapat menuju demoralisasi.
• Tiap siswa mempunyai tingkat frustasi dan toleransi yang berlainan.
Berkaitan dengan peranan motivasi, paradigma yang selama ini kurang tepat tentang tes perlu dirubah. Perubahan ini perlu dilakukan agar potensi intelegensi yang dimiliki siswa dapat digali dan diasah secara optimal.
D. Teori Kecerdasan
Agar sebuah tes bahasa dapat memberikan motivasi intrinsik, dalam penyusunan tes perlu mempertimbangkan jenis-jenis kecerdasan seperti yang disebutkan Brown. Dengan memahami Jenis-jenis kecerdasan tersebut guru memiliki bekal yang cukup untuk mengenali siswanya dan menemukan jenis-jenis ujian yang tepat.
Secara lengkap, jenis-jenis kecerdasan tersebut adalah :
1. Kecerdasan verbal / bahasa
Kecerdasan ini dinampakan oleh kepekaan akan makna dan urutan kata serta kemampuan membuat beragam penggunaan bahasa untuk menyatakan dan memaknai arti yang kompleks. Percakapan spontan, dongeng, humor dan kelakar adalah kemampuan alamiah yang berkaitan dengan kecerdasan verbal.
2. Kecerdasan logika / matematika
Kecerdasan ini paling mudah diukur dan distandarisasikan. Kecerdasannya tampak pada kemampuan analisis dan sainstifik.
3. Kecerdasan spasial / visual
Kecerdasan ini umumnya terampil menghasilkan imaji mental dan menciptakan representasi grafis, mereka sanggup berpikir tiga dimensi, mampu mencipta ulang dunia visual.
4. Kecerdasan tubuh / kinestetik
Kecerdasan ini memungkinkan terjadinya hubungan antara pikiran dan tubuh yang diperlukan untuk berhasil dalam aktifitas seperti menari, berolah raga, bela diri, drama dan sebagainya.
5. Kecerdasan musical / ritmik
Seseorang dengan bentuk kecerdasan ini mendengarkan pola music dan ritmik secara natural dan kemudian dapat memproduksinya. Bentuk kecerdasan ini sangat menyenangkan, karena music memiliki kapasitas untuk mengubah kesadaran kita, menghilangkan stress, dan meningkatkan fungsi otak.
6. Kecerdasan interpersonal
Individu dengan kecerdasan interpersonal memiliki kemampuan intuitif, pintar membaca suasana hati dan maksud orang lain. Ia pintar melakukan negosiasi dan menyediakan umpan balik atau evaluasi.
7. Kecerdasan Intrapersonal
Berupa kemampuan untuk memahami dan mengartikulasi cara kerja terdalam dari karakter dan kepribadian.
8. Kecerdasan spiritual
Kecerdasan ini dipandang sebagai kompinasi antara kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. (Sagala, 2010 : 84-86 )
E. Jenis dan Bentuk Tes Bahasa
Keterampilan dalam meramu tes atau ujian bahasa sangat diperlukan bagi seorang guru. Dengan pengetahuannya, guru dapat memvariasi jenis dan bentuk tes sehingga benar-benar dapat mengetahui keberhasilan proses pembelajaran.
a. Komponen Tes Kebahasaan
Dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa Indonesia tes kebahasaan mencakup kompetensi kebahasaan, ketrampilan berbahasa dan kesusastraan. (Nurgiyantoro,2009:165)
1) Tes Kompetensi Kebahasaan
Tes kompetensi kebahasaan secara garis besar dapat dikelompokan menjadi tes struktur bahsa dan kosa kata. Struktur bahasa dan kosa kata merupakan aspek yang penting, karena pada dasarnya tindak berbahasa merupakan pengoperasian kedua aspek ini
2) Tes Kemampuan Berbahasa
Tes ini juga disebut dengan tes performansi karena pda dasarnya tes kemampuan berbahasa mengukur kemampuan seseorang dalam kegiatan berbahasa. Kemampuan berbahasa dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kemampuan memahami (reseptif) dan kemampuan menggunakan (produktif).
Kemampuan reseptif terdiri dari kemampuan membaca dan menyimak. Kemampuan produktif terdiri dari kemampuan menulis dan berbicara.
Istilah Performansi dikemukakan oleh Chomsky pada tahun 1965 (Tarigan,1990:23). Performansi merupakan penggunaan bahasa atau apa yang dilakukan oleh pembicara-pendengar secara actual. Performansi dibedakan dengan kompetensi. Kompetensi mengacu pada pengetahuan seseorang mengenai bahasa, sedangkan performansi merupakan penggunaan pengetahuan tersebut dalam upaya menghasilkan dan memahami kalimat.
Dalam pembelajaran bahasa kedua dan bahasa asing, performansi seseorang pembelajar dalam suatu bahasa dapat mengindikasikan kompetensinya. Tetapi dalam performansi, seseorang mungkinmembuat sebuah kesalahan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa factor seperti : kelelahan, kurang perhatian, kegugupan, kegemparan dan sebagainya.
3) Tes Kesastraan
Tes kesastraan terdiri dari tes pengetahuan tentang sastra dan tes spresiasi sastra. Tes yang bersifat apresiatif akan menopang tercapainya pengajaran sastra yang berkadar apresiatif, bukan hanya teoritis.
b. Jenis Tes Bahasa
Nurgiyantoro (2009:169-185) menyebutkan jenis-jenis tes bahasa.
1) Tes Diskrit
Tes diskrit hanya menekankan atau menyangkut satu aspek kebahsanaan pada satu waktu. Tiap satu butir soal hanya dimaksudkan untuk mengukur satu aspek kebahasaan, misalnya fonologi, mrofologi dan sebagainya.
2) Tes Integratif
Tes integrative muncul sebagai reaksi terhadap tes diskrit. Dalam tes ini, aspek-aspek kebahsaan tidak dipisahkan, malainkan dalam wujud bahasa yang merupakan kesatuan yang padu. Tes ini dapat berbentuk : menyusun kalimat, menafsirkan wacana, memahami bacaan dan menyusun alinea.
3) Tes Pragmatik
Tes pragmatic sejalan dengan pendekatan komunikastif dalam pengajaran bahasa. Tes ini menekankan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa dalam situasi tertentu. Bentuk-bentuknya antara lain : dikte, berbicara, pemahaman paraphrase dan jawaban pertanyaan.
Dalam Kongres Linguistik Internasional, Moulton menyatakan lima prinsip pengajaran bahasa, yaitu :
• Bahasa adalah lisan, bukan tulisan.
• Bahasa adalah seperangkat kebiasaan
• Yang diajarkan adalah bahasa, bukan tentang bahasa
• Bahasa adalah yang diajarkan oleh si penutur asli.
• Bahasa adalah berbeda-beda
Mulai tahun 1984 arah pembelajaran bahasa Indonesia berubah dengan penegasannnya dalam pendahuluan GBPP bahwa berbahasa adalah menggunakan bahasa untuk komunikasi. Penegasan ini selaras dengan pendekatan komunikatif yang menjadi aliran baru dalam pembelajaran bahasa.
Pendekatan komunikatif yang disebut juga dengan pendekatan pragmatic berdasarkan kebermaknaan bentuk-bentuk bahasa yang dipelajari sehingga memungkinkan siswa memakainya dalam komunikasi reseptif (membaca dan menyimak) dan berkomunikasi produktif (menulis dan berbicara)
Stevick ( Subana,27) menyatakan ciri-ciri pendekatan pragmatic yaitu :
• Berorientasi pada kebutuhan siswa
• Keseimbangan kekuatan di dalam kelas berupa : kebebasan, otonomi, dan kreatifitas siswa.
• Kesalahan dianggap hal yang wajar
• Mempelajari bahasa seharusnya dilihat sebagai proses kognitif yang wajar.
c. Jenis Tes Bahasa Berdasarkan Tujuan
Iskandarwassid (2008:179) menyatakan jenis-jenis tes berdasarkan tujuannya adalah :
1) Profiency
Digunakan untuk mengukur kemampuan bahasa tanpa memperhatikan pengetahuan yang telah diperoleh dari suatu pelatihan atau kegiatan sejenis. Materi tes tidak mengacu pada tujuan kurikulum atau kursus, tetapi merujuk kepada spesifikasi yang ditentukan oleh lembaga.
2) Placement
Tes penempatan digunakan untuk menenpatkan peserta didik pada tahap atau tingkat tertentu dalam program pengajaran sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
3) Diagnosis
Tes diagnosis digunakan untuk mengetahui atau mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan peserta didik sehingga mengajar bisa memberikan program pengajaran berikutnya.
4) Achievment
Tes pencapaian digunakan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik memahami suatu materi yang telah diberikan.

A. SIMPULAN
Dari rangkuman dan analisis di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tes sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses pendidikan selama ini dipandang secara salah oleh para pelaku pendidikan ( siswa dan guru ). Pandangan ini mulai berubah seiring dengan perkembangan teori tentang intelegensi yang diikuti perkembangan bentuk-bentuk tes bahasa seperti tes performansi dan tes interaktif.
2. Teori tentang intelegensi yang semula memandang kecerdasan hanya berupa kemampuan linguistic dan matematik, bertambah dengan aspek kecerdasan yang lain, yaitu : spasial, musical, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan rekayasa.
3. Tes performansi merupakan tes kemampuan berbahasa yang mengukur kemampuan seseorang dalam kegiatan berbahasa. Kemampuan berbahasa dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kemampuan memahami (reseptif) dan kemampuan menggunakan (produktif)
4. Tes Interakstif merupakan tes pragmatic yang sejalan dengan pendekatan komunikastif dalam pengajaran bahasa. Tes ini menekankan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa dalam situasi tertentu. Bentuk-bentuknya antara lain : dikte, berbicara, pemahaman paraphrase dan jawaban pertanyaan.
5. Untuk menyusun tes bahasa yang dapat memberikan motivasi intrinsik harus memperhatikan prinsip-prinsip : memberikan siswa persiapan tambahan, memiliki validitas permukaan, prinsip keaslian dan prinsip ‘pencucian kembali’
6. Problematika yang muncul dalam dunia pendidikan di Indonesia, adalah kenyataan bahwa tes masih merupakan sesuatu yang menakutkan siswa terutama dengan adanya Ujian Nasional. Motivasi yang terbangun oleh UN tidak sesuai dengan prinsip-prinsip motivasi dan tes bahasa.
7. Motivasi intrinsik yang diharapkan terbangun oleh sebuah tes adalah motivasi yang sesuai dengan teori-teori motivasi seperti yang dikemukan oleh para ahli motivasi seperti Maslow, Ausubell, dan Skinner.
8. Teori tentang tes bahasa memungkinkan berbagai jenis tes dilakukan untuk mengukur komponen bahasa yang meliputi : kompetensi berbahasa, kemampuan berbahasa dan kesastraan. Tes terebut dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti tes diskrit, tes integrative dan tes pragmatic. Tujuannyapun berbeda-beda seperti untuk tes profiency, tes placement, tes diagnosis, dan tes achievement.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar