TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Inilah Kami

Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki arti penting baik secara akademis maupun politis. Namun, dari masa ke masa entah disadari atau tidak, banyak pihak yang telah memarjinalkan pembelajaran BI pada posisi yang "hanya disentuh" jika diperlukan.

Kamis, 09 Desember 2010

Sastra Terlupa Karakter Terlena

Hari-hari terakhir suguhan yang sering hadir di pagi bukan hanya secangkir kopi dan selembar roti tetapi juga berita-berita miring tentang negeri ini. Anggota DPR yang bersikeras ‘jalan-jalan’ ke luar negeri dengan berbagai dalih yang diputarbalikan. Ada pula kasus ‘jalan-jalannya’ pegawai negeri paling tersohor, Gayus, ke Bali. Berita-berita ini disajikan dengan penuh pesona oleh pembawa berita yang tidak kalah mempesona sehingga sering kita lupa bahwa di balik berita itu ada sesuatu yang hilang dari jiwa kita sebagai bangsa.
Berita-berita sejenis yang bertubi-tubi dan saling bersusulan membuat kita terkadang jenuh dan bosan. Satu persoalan belum tuntas, disusul persoalan lain sehingga ada kesan berita terbaru sengaja dimunculkan untuk mengalihkan perhatian publik. Akibatnya, sebagian besar publik merasa tidak ada yang aneh pada berita-berita tersebut. Bahkan kemudian muncul pemikiran bahwa berita-berita negatif itu suatu hal yang biasa dan dapat diterima sebagai sebuah kewajaran. Padahal bila direnungkan, semua perilaku tersebut adalah cerminan dari sebuah ‘bencana’ yang harus kita waspadai.
Bila akhir-akhir ini kita semua prihatin dengan rangkaian bencana yang melanda negeri ini, ternyata ada sebuah ‘bencana’ yang kita semua kadang tidak menyadarinya. Hal ini karena kita sering terbius pada hal-hal yang sifatnya kasat mata. Padahal bila dirunut ke akar-akarnya adanya bencana seperti tanah longsor, banjir, kebakaran, dan tsunami terdapat hubungan dengan ‘bencana’ yang telah lama kita alami tetapi tidak disadari. Bencana itu adalah hilangnya karakter bangsa.
Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa bangsa ini telah kehilangan karakternya, tetapi marilah kita tengok keadaan di sekitar kita. Memang masih banyak hal-hal yang dapat kita banggakan. Tetapi juga terlalu naif untuk mengatakan tidak ada masalah pada karakter bangsa ini. Untuk itu, artikel sederhana akan mencoba mengaitkan hilangnya karakter bangsa dengan dilupakannya pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.

Pembelajaran Sastra Dulu dan Kini
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa oleh Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Taufiq Ismail menyinyalir ada perubahan mendasar yang perjadi pada pembelajaran sastra masa dulu dan kini. Beliau mengatakan titik balik perubahan itu terjadi pada 1 Januari 1950 ketika bangsa Indonesia memiliki kewenangan penuh merumuskan kurikulum pendidikan. Perubahan mendasar itu berupa dihapuskannya bacaan-bacaan wajib bagi siswa.
Pada masa penjajahan Belanda, sekolah Hindia Belanda kala itu (AMS, MULO) mewajibkan siswanya membaca karya sastra. Tercatat ada kurang lebih dua puluh lima bacaan wajib yang harus diselesaikan dalam waktu tiga tahun. Apakah sistem pendidikan seperti ini yang menghasilkan tokoh-tokoh pendiri bangsa seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Syahrir dan sebagainya ? Memang masih perlu dibuktikan. Tetapi bila menengok negara-negara yang sudah berhasil seperti Amerika Serikat dan Rusia, kita pantas mengakui bahwa ada peran bacaan sastra dalam pembentukan karakter seseorang.
Amerika sampai kini masih mewajibkan siswa-siswanya membaca karya sastra seperti karya-karya Ernest Hemingway. Demikian juga Rusia masih mempertahankan karya sastra seperti War and Peace karya Leo Tolstoy. Negeri tetangga Malaysia juga tidak ketinggalan. Siswa-siswa di Malaysia masih diwajibkan minimal enam karya sastra. Tidak ketinggalan pula Singapura dan Thailand.
Bagaimana dengan Indonesia ? Beberapa sekolah mungkin masih melaksanakan bacaan-bacaan wajib. Tetapi secara umum, siswa-siswa Indonesia hanya sekali, dua kali atau bahkan ada yang sama sekali belum pernah membaca karya sastra. Taufiq Ismail lebih menyukai istilah “bangsa yang rabun membaca dan pincang mengarang” untuk menggambarkan situasi pembelajaran sastra di Indonesia.
Secara lebih rinci, Taufiq Ismail menyebutkan setidaknya terdapat 35 permasalahan dalam pembelajaran sastra di Indonesia. Permasalahan itu di antaranya adalah merosotnya minat masyarakat secara umum untuk membaca karya sastra. Memang ada beberapa fakta yang dapat membantah pernyataan ini. Terbukti novel-novel seperti Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta laris di pasaran. Tetapi dapatkah kedua novel ini mewakili karya sastra secara keseluruhan ? Masih harus dibuktikan ketika novel-novel yang kental nilai sastranya dilepas ke masyarakat.
Permasalahan lain adalah peran media lain seperti media elektronik dalam mengenalkan sebuah karya sastra kepada masyarakat. Sekarang ini tak dapat dipungkiri, media elektronik telah menyita perhatian masyarakat sehingga media-media lain harus berusaha keras agar tidak tersingkir. Seharusnya keunggulan ini dimanfaatkan untuk mengenalkan karya-karya sastra melalui tayangan-tayangannya. Tetapi, hanya sedikit sinetron-sinetron yang diangkat dari karya sastra. Beberapa tahun lalu ditayangkan sinetron “Siti Nurbaya” yang sempat sukses. Tetapi setelah itu, sinetron di televisi lebih banyak dihiasi cerita-cerita yang lebih mementingkan nilai jual dari pada kualitas.
Masalah-masalah lain masih banyak tetapi pokok permasalahan dari semua persoalan itu terletak pada merosotnya wajib baca buku sastra, bimbingan mengarang dan pengajaran sastra di sekolah. Seperti sudah dikemukakan di atas, hilangnya kewajiban membaca karya sastra berbanding lurus dengan menurunnya kualitas karakter bangsa.
Kenyataan ini baru disadari akhir-akhir ini dengan digalakkannya kembali pendidikan karakter. Presiden SBY melalui pidatonya dalam rangka memperingati hari Pendidikan Nasional menyatakan keprihatinannya pada berbagai fenomena yang muncul di masyarakat seperti kekerasan, korupsi, kejahatan seksual dan sebagainya. Jalan keluar dari permasalahan ini adalah pendidikan karakter yang terintegrasi dengan kurikulum yang ada.
Saat inilah barangkali waktu yang tepat untuk merubah paradigma agar pembelajaran sastra di sekolah dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan karakter siswa.
Merubah Paradigma
Taufiq Ismail mengusulkan setidaknya enam perubahan paradigma agar pengajaran sastra dapat memenuhi fungsinya.
Yang pertama adalah merubah pendekatan dalam pengajaran agar siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik dan gembira. Sastra bukan hal yang dipaksakan sebagai materi pelajaran yang harus dipahami. Sastra harus dikemas menjadi materi yang menyenangkan sehingga membuat siswa antusias dan merasa sebagai sesuatu yang diperlukan.
Perubahan paradigma yang kedua adalah menyajikan karya sastra bukan melalui ringkasan seperti yang selama ini dilakukan. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra dapat dihayati jika karya tersebut dibaca secara utuh. Membaca sepotong-potong atau membaca ringkasan dan ulasan hanya membekali siswa dengan pengetahuan tentang karya tersebut. Hal ini belum sesuai dengan hakikat pembelajaran sastra yang menekankan kemampuan mengapresiasi. Memang mungkin saja ringkasan dan ulasan bermanfaat dalam kegiatan pembelajaran, tetapi itu bukan merupakan tujuan akhir pembelajaran sastra.
Perubahan berikutnya berkaitan dengan pembelajaran mengarang. Selama ini kegiatan mengarang masih merupakan hal yang ditakuti siswa. Sebagian besar siswa merasa terbebani ketika guru memberikan tugas berupa karangan baik yang bersifat fiksi maupun nonfiksi, baik berupa prosa maupun puisi. Memang ada beberapa siswa yang langsung antusias, tetapi dapat dihitung dengan sebelah jari. Untuk itu, pendekatan dan metode pembelajaran mengarang harus dirubah agar menyenangkan baik bagi siswa maupun guru. Caranya dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : membawa siswa ke alam, menulis bersama, dan sebagainya.
Perubahan keempat berkaitan dengan penilaian dalam apresiasi. Banyak yang menyayangkan ketika soal-soal apresiasi sastra dibuat dalam bentuk pilihan ganda. Contoh yang sangat nyata adalah soal-soal Ujian Nasional. Dengan ditentukannya jawaban, siswa akan berpikir benar salah. Padahal karya sastra selalu dapat ditafsirkan berbeda. Perbedaan penafsiran harus dihargai dalam kegiatan apresiasi sastra. Dengan menghargai perbedaan siswa akan mendapatkan beberapa nilai seperti menghargai orang lain, demokrasi, berpikir logisdan sebagainya. Oleh karena itu, sebaiknya soal-soal UN dipertimbangkan kembali agar dapat mengukur kemampuan apresiasi.
Bila selama ini pembelajaran sastra lebih mengutamakan pengetahuan tentang sastra seperti teori dan sejarah sastra, sekarang paradigma itu harus dirubah. Pengetahuan tentang sastra dilakukan secara sambil lalu sebagai informasi sekunder. Sastra bukan pengetahuan yang harus dihafalkan. Sastra harus dinikmati sebagai sebuah karya seni seperti lagu-lagu dan lukisan.
Perubahan terakhir berkaitan dengan fungsi karya sastra itu sendiri. Pembelajaran sastra harus mampu menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa. Inilah yang disebut dengan pembangunan karakter. Bila pelajaran eksakta mengutamakan pengembagan intelektual yang berpusat pada otak, pembelajaran sastra mengutamakan pengembangan nilai-nilai dalam jiwa siswa. Banyak sekali nilai yang dapat ditanamkan pada diri siswa melalui karya sastra. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh pelajaran lain. Untuk itulah, sudah seharusnya pembelajaran sastra menggunakan karya sastra sebagai materi utamanya bukan ulasan, ringkasan, resensi atau yang lainnya.
Sekaranglah Saatnya
Momen digalakkannya kembali pendidikan karakter menjadi pemicu yang tepat untuk diadakannya kembali kewajiban membaca karya sastra di sekolah-sekolah. Tanpa itu, pendidikan karakter seperti halnya benih yang dibiarkan kerontang. Karya sastra dapat menjadi setetes embun yang membasahi pucuk daun yang mulai bersemi. Atau juga, tetes-tetes gerimis yang menyuburkan akar-akar karakter yang dapat menjaga kebesaran bangsa agar selalu tegar berdiri walau angin badai meniup kencang. Semoga !(Bambang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar